Jalan panjang telah dibentangkan Menjadi pertemuan langkah perjalanan dua orang yang awalnya hanya berangan-angan Bersama kita lestarikan ...

 






Jalan panjang telah dibentangkan
Menjadi pertemuan langkah perjalanan dua orang
yang awalnya hanya berangan-angan

Bersama kita lestarikan cinta dan kasih sayang
yang telah diberikan oleh Yang Maha Cinta
Melimpah berkah mewujudkan bahagia
di dunia yang sementara ini
hingga di akhirat yang selamanya nanti



Tari dan Dwiky




Bulan sudah tak purnama lagi Bahkan yang sabit akan berangkat lagi dari balik cahaya matahari Sekian banyak perputarannya hanya diulang tapi...


Bulan sudah tak purnama lagi

Bahkan yang sabit akan berangkat lagi dari balik cahaya matahari

Sekian banyak perputarannya hanya diulang tapi tak dipelajari

Sudah segiat apa kita sejauh ini?


Apakah tak terpejam tiap malam hanya untuk dunia?

Mengapa tak sempat walau beberapa detik untuk mengingatNya?

Seakan tak ada waktu karena dikejar tenggat waktu

Padahal tak ada yang tahu sampai kapan kita punya waktu

  Mulanya peralihan langit biru menyela abu-abu  Menuju hitam menjemukan tanpa sempat jingga merona  Hingga habis bayangan di ujung jalan Sa...

 



Mulanya peralihan langit biru menyela abu-abu 
Menuju hitam menjemukan tanpa sempat jingga merona 
Hingga habis bayangan di ujung jalan

Sayup-sayup ombak menerpa perahu 
Walau menyisakan sedikit warisan gundah 
Aku takkan pasrah dengan hempasannya 
Malah ia menjadi sahabat menerjang gelap 

Saat senyummu mulai menggantikan gemintang 
Kuajak kau mengeja warna di antara hitam dan putih 
Membawanya pada kanvas baru 
Lalu kita akan selalu padu 
Bukan begitu?

dfs, 2021

(Pandemi Coffee) Entah mengapa gerombolan kucing itu mendatangiku yang baru memarkir sepeda di parkiran motor. Mungkin karena aku membawa kr...

Pandemi Coffee
(Pandemi Coffee)

Entah mengapa gerombolan kucing itu mendatangiku yang baru memarkir sepeda di parkiran motor. Mungkin karena aku membawa kresek berisi sarapan pagi. Ini sarapan pagiku, bukan untukmu wahai kucing-kucing lucu. Maaf mungkin lain kali saja, sekarang ini aku cuma bisa menggodamu. 


Terakhir menulis di buku ini adalah di halaman 3/366, tentang catatan ketika meninggalkan kota tempat belajar kehidupan. Sekarang, kita sudah sampai di suatu hari yang biasanya jadi hari ke-365 di 3 tahun sebelumnya. Tulisan-tulisan yang tidak terpublikasi di tengah-tengah tahun ini biarlah tidak terpublikasi. Takutnya nanti banyak yang tersinggung.


Tahun ini adalah tahun yang menjadi awal perjalanan menjalani mimpi atau cita-citaku. Kombinasi antara cita-cita masa SD menjadi insinyur, cita-cita masa SMP-SMA yaitu menjadi guru, dan cita-cita seorang anak pasrah saat kuliah yang cukup klise dan mainstream, yaitu ingin bermanfaat untuk bangsa dan negara serta agama. Alhamdulillah, aku bisa memulai ini semua. Walaupun sebenarnya ada satu orang yang juga sangat menginginkan ini, yang saat ini sudah tidak bisa melihatku langsung, yaitu bapak. Aku merasa beruntung, di saat beberapa orang yang aku kenal agak sulit menyelaraskan cita-cita pribadi dan orangtua, aku termasuk yang bisa dalam sekali obrolan. Aku yakin bapak sedang tersenyum bahagia di sana. Halo pak 👋.


Membangun generasi negeri ini sebenarnya tidak sulit dan tidak mudah juga. Dihadapkan dengan anak-anak khusus, perlakuannya juga khusus, ada usaha ekstra untuk mencari cara-cara alternatif dalam memahami dan menanamkan pola pikirnya. Untungnya aku diberikan keleluasaan untuk menggunakan lebih banyak pembelajaran melalui praktek daripada teori-teori. Tidak hanya melulu tentang pengetahuan ilmiah dan kemampuan teknis, dalam menyiapkan bangsa ini untuk masa depan kita juga perlu menanamkan sikap dan perilakunya. Selain itu, sisi spiritual mereka juga perlu ditingkatkan. Biar tidak keblinger.


Sampai pada suatu ketika, sebuah pandemi melanda bumi ini. Yaa mungkin karena ada orang pintar secara pengetahuan yang keblinger itu tadi. Jadinya orang-orang “dipaksa” bisa online dalam pekerjaannya. Atribut-atribut tertentu jadi penting dan harus dipakai untuk pelindung diri. Persiapan generasi penerus bangsa sedikit terganggu karena perlu adaptasi dengan cara-cara yang baru. Peran manusia sebagai makhluk sosial juga sedikit terganggu karena sampai sekarang lewat online ini banyak orang yang masih tidak bisa merasakan energi-energi positif yang dipancarkan ketika berkumpul secara langsung. Aku setuju walaupun sebenarnya lebih suka mencari energi positif dengan menyendiri, entah dalam kamar, di atas sepeda, atau di pucuk gunung sana. Bulan puasa menjadi berbeda, baru di tahun ini juga hari raya tidak se-raya sebelumnya.


Kita sama-sama berdoa semoga pandemi ini cepat selesai.

 

 

 

 


Matahari sudah meninggi jam lima pagi Bersiap menghadapi tamparan asap pekat dan suara-suara knalpot modifikasi Terserah ke mana sepe...



Matahari sudah meninggi jam lima pagi
Bersiap menghadapi tamparan asap pekat
dan suara-suara knalpot modifikasi

Terserah ke mana sepeda ini mencari arah
menikmati sepi di riuh gemuruh Asia-Afrika
menghitung warna biru tiap lukisan di Braga
atau merenung di lamanya lampu merah simpang Dago
hanya sekadar mengelilingi kota yang katanya ramai di malam minggu

Rintik gerimis dan aspal basah Jalan Ganesa
membuka semua ingatan masa lalu
tentang perjalanan remaja menjadi seorang pria
Gedung-gedung tua seakan mempunyai mata
Pilar-pilar batu tampak mendengarkan kita
Mereka bisa menceritakannya kembali 
Mengingatkanku berapa kali melihat bulan purnama di tengah malam

Tenang,
nanti terdengar adzan masjid gang 5
yang menggelegar ke seluruh penjuru Cisitu
diharap membuat jeda ratusan kegiatan manusia
untuk rutinitas yang seharusnya

Tak usah terlalu larut dalam suasana
Biasa saja
Karena pertemuan dan perpisahan itu keniscayaan
hanya persoalan waktu
dengan nostalgia yang sulit berlalu

Sampai jumpa lagi, Bandung!

-dfs-

Tidak dapat dipungkiri bahwa ada manusia  yang ingin berbeda, memang terlahir berbeda,  tentunya dengan caranya sendiri, sesuka hat...



Tidak dapat dipungkiri bahwa ada manusia  yang ingin berbeda, memang terlahir berbeda, tentunya dengan caranya sendiri, sesuka hatinya sendiri. Entah itu bawaan dari lahir ataupun terbentuk karena lingkungannya. Bahkan sekadar menanyakan "apa kabar?" di awal percakapan sepertinya cukup menguras energi. Atau mengawali pembicaraan dengan "Cuacanya cerah ya hari ini.", dan "Tadi macet ga?". Padahal sesederhana itu, ya kan? Tapi apa tidak mending langsung to the point saja?

Dalam kongkow, nongki, atau ngopi santuy di beberapa kesempatan, candaan umum masa kini, masa lalu, dan mungkin masa depan sepertinya sangat sulit untuk membuat tertawa, kecuali hanya tertawa untuk menghormati saja. Jadinya, obrolan santai sering menjadi berat. Tak heran membentuk citra serius menurut anggapan beberapa orang. Padahal hanya tidak suka tema yang biasa, tidak suka yang klise. Contohnya seperti kata-kata  yang cenderung lucu di KBBI yang jarang digunakan, Misteri kota Rock Bottom di serial Spongebob Squarepants, atau bagian otak sulcus occipitotemporal yang merupakan tempat disimpannya memori tentang Pokemon. Mencoba mengeluarkan candaan pun kadang sulit atau lama untuk dimengerti orang lain, entah karena standar humornya sangat tinggi atau ya itu tadi, berbeda dengan orang biasanya. 

Kopi senja adalah indie. kadang hujan juga menjadi bahan. sepertinya itu masih menjadi salah satu patokan pergaulan. Dulu memang sempat suka senja dan kopi, sempat mengutip tentang senja, kopi, dan hujan. Itu dulu sekali, ketika masih berada di bawah threshold (batasan) yang tidak terlihat ke permukaan. Setelah semua itu menjadi mainstream, sudah tidak menarik, sudah banyak yang mengaitkan tentangnya, sudah menjadi umum di mana-mana, tidak seru lagi. Sebenarnya Kalau kopi sih masih diminum setiap hari, karena murni karena enak dari dulu, bukan karena lagi jamannya.


Namun, semakin bertambahnya usia, semakin banyak berinteraksi dengan orang-orang baru, orang yang lama tidak bertemu, atau dengan orang-orang dekat yang semakin terkuak sifat aslinya. Semakin bergulirnya waktu, semakin tahu basa-basi itu juga perlu, membahas hal umum sebelum to the point itu perlu (tergantung kondisi sih). Tapi jangan sampai berbusa-busa. Semua yang berlebihan itu tidak baik. Pengecualian untuk kopi-senja-kopi-senja indie dll itu, sebaiknya tidak perlu dibicarakan lagi, mending pakai headset lalu membisu.

Tidak suka hal-hal klise pangkal kesulitan mengawali pembicaraan. 
Aku.

*Sluuurp* Seorang pria lanjut usia menjual es krim yang sangat enak, dengan variasi roti es krim dan es krim dalam cup. Beliau ba...


*Sluuurp*

Seorang pria lanjut usia menjual es krim yang sangat enak, dengan variasi roti es krim dan es krim dalam cup. Beliau baru membuka lapaknya sekitar pukul 10.30. Mendekati waktu sholat Jumat orang-orang mulai antre mengerumuni lapak beliau untuk membeli es krim coklat dan durian yang enak itu, lebih ramai lagi setelah sholat Jumat. Tidak lama setelah itu, beliau sudah mulai beres-beres lapaknya karena dagangannya laris manis habis terjual dalam waktu yang cukup singkat.

Saya tidak suka antre panjang-panjang, jadi saya biasanya beli es krim itu di awal beliau membuka lapaknya. hehe. Suatu ketika sepulang Jumatan, saya melintas di sekitar Pasar Jumat Salman, melihat bapak penjual es krim itu sedang sibuk melayani para pembeli. Keringat mulai bercucuran menetes di wajahnya yang keriput itu. Namun tak nampak lelah dalam raut wajahnya. Hanya senyum yang tergambar jelas mewakili kebahagiaan menerima rezeki di hari yang penuh berkah itu. Semangat semakin membara.

 
 Penasaran kan?

Di hari Minggu, aku jalan-jalan di Pasar Gasibu. Sekedar melihat-lihat baju-baju, yang belanja lebih banyak ibu-ibu. Tak terasa aku membeli jajan sampai dua puluh ribu. Di situ juga aku melihat para bapak berdagang dengan semangatnya. Pagi buta ditaklukkannya demi mempersiapkan lapak dengan rapi. Di jalan antara lapak-lapak itu tiba-tiba ada pria lewat mengendarai sepeda motor, dengan jaket ojek onlinenya. Kebetulan saat itu masih sangat pagi sehingga keadaan belum ramai pengunjung. Salah satu perjuangan juga, mungkin pria itu sedang buru-buru menjemput pelanggan. 

Di pagi hari yang lain, aku dengan santai bersepeda, melihat kemacetan-kemacetan melanda. Memang saat itu adalah jam-jam berangkat kerja. Terlihat sekilas laki-laki berpakaian rapi di balik kemudi kendaraan-kendaraan itu. Melihat kepadatan kota, aku jadi teringat juga kepadatan ibukota. Kepadatan yang sangat tinggi di ibukota tidak lain disebabkan oleh ibukota yang juga pusatnya perekonomian Indonesia. Mencari uang di sana lah tempatnya. Di jalanan, di kereta, di pasar, di sana, di situ, di mana-mana padat, tidak ketinggalan juga di kuburan, padat "penduduk"nya. Oke, abaikan yang terakhir.  Itulah perjuangan, perjuangan di jalan Allah bagi seorang pria untuk keluarga. Pergi yang pulangnya dinanti, lelah yang keringatnya berharga, dan pikiran yang setiap detiknya terbayar. 

Jika melihat orang-orang sedang bekerja keras, sedikit banyak selalu mengingatkanku pada sosok Alm. Bapak. Aku di sini sekarang juga karena perjuangannya. Pak, aku suka playlist lagu jadulmu, aku ingin lagi mendengar guyonan bapak-bapak darimu, aku ingin lagi berdiskusi berat denganmu, aku merasa masih butuh kerasnya bimbinganmu, dan sebenarnya aku masih ingin belajar hidup darimu.



Aku yakin kau cukup bawa bekal
Dan aku bangga jadi anakmu
Ayah aku berjanji
Akan aku kirimkan doa yang pernah engkau ajarkan ke padaku
Setiap sujud sembahyang engkau hadir terbayang
Tolong bimbinglah aku meskipun kau dari sana
Sesungguhnya lah aku menangis sangat lama
Namun aku pendam agar engkau berangkat dengan tenang
Sesungguhnya lah aku merasa belum cukup berbakti
Namun aku yakin engkau telah memaafkanku

(Ayah Aku Mohon Maaf - Ebiet G. Ade)

Bandung, 25 Juli 2019 Di tengah persaingan ojek-ojek dan taksi-taksi online yang makin menegaskan eksistensinya di negeri ini, say...

Bandung, 25 Juli 2019

Di tengah persaingan ojek-ojek dan taksi-taksi online yang makin menegaskan eksistensinya di negeri ini, saya tetap memilihi naik angkot untuk rute-rute yang terjangkau angkot. Kalo menurut saya, prioritas transportasi: jalan kaki-sepeda-angkot (transportasi umum)-oj/taks ol- kendaraan pribadi. Saya sudah seperti para SJW lingkungan yang mengkampanyekan kurangi penggunaan kendaraan pribadi agar mengurangi emisi gas karbon dan mengurangi tingkat kemacetan. Tapi saat ada promo, saya menukar urutan prioritas ojol dan angkot. hehe. 

Hari ini saya naik angkot Kalapa-Dago. Memilih naik angkot juga karena ojol sudah mahal dan tidak ada promo di aplikasi-aplikasi ojol saat itu. Saya naik dari dekat terminal Kebon Kalapa sampai turun di Dago, hampir keseluruhan trayek.  Sendirian. Tidak ada orang lain yg naik maupun turun sepanjang perjalanan . Kang driver udah ngetem bbrp kali pun tidak dapat menarik perhatian orang-orang untuk ngangkot. Gatau kalo yang selain orang, ikut naik apa tidak. Yang pasti, sepenglihatan saya di dalam angkot hanya pak supir dan gorengan yang sedang saya makan. Sudah seperti nyarter 1 mobil angkot sendirian, atau naik taksi online tapi dengan harga sangat murah tanpa promo.

Sebenarnya saya sudah sering menjadi private passenger of public transportation seperti ini, yang paling sering adalah saat naik angkot dari stasiun ke tempat tinggal (+/-5 km). Ini bukan cerita horor di malam jumat. Cuma bingung saja bagaimana sebaiknya angkot-angkot ini. Dengan sistemnya yang masih konvensional, sudah barang tentu kekalahan di depan mata menghadapi persaingan transportasi modern.

Apa sudah ada kebijakan yg mengembangkan angkot-angkot ini agar lebih bersaing? atau memang sengaja perlahan dibiarkan punah?

Btw, apa kabar angkot TST di Malang?


Gambar: Angkot The Game (Indonesian PC Game)

Tahun 2019 sudah memasuki bulan ketujuh. Bulan sebelumnya kita menikmati berkumpul bersama keluarga di libur lebaran. Lebaran tahun ini ter...

Tahun 2019 sudah memasuki bulan ketujuh. Bulan sebelumnya kita menikmati berkumpul bersama keluarga di libur lebaran. Lebaran tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya kalau terasa sama malah jadi tidak wajar. Ini hanya basa-basi saja. 

Masih menjadi orang yang hidup di kota orang, aku mengikuti kebiasaan sebagian besar masyarakat negeri ini, yaitu mudik. Aku berburu tiket mudik lalu akhirnya mendapatkan 2 tiket di tanggal 26 Mei bersama si adik. Kereta berangkat pukul 15.45 WIB. Hari itu terlihat sangat santai, aku mengerjakan beberapa pekerjaan sampai siang dan sedang malas untuk beli oleh-oleh karena sudah sering, sudah bosan juga orang rumah dengan oleh-oleh yang itu-itu saja. Hanya adik yang membelikan pesanan mukenah satu kresek besar. Tidak terlintas sedikitpun dalam alam bawah sadarku bahwa itu adalah hari Minggu. Kami berdua berangkat ke stasiun naik taksi online sekitar pukul setengah 3 sore, yang menurut perkiraan kami bisa di stasiun sampai dengan santai. Namun, manusia hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan. 

Di perjalanan kami berbincang santai dengan sang supir sampai ternyata si supir mencari jalan alternatifnya karena menghindari macet. Aku baru sadar sepenuhnya kalau itu hari Minggu, masih jam-jam macet, hari-hari mudik, dan naik mobil. Jalan alternatif pun macet. Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit. Khawatir, cemas, jantung berdegup kencang seperti genderang mau perang. Apakah yang akan terjadi jika kami ketinggalan kereta? Apakah mungkin bisa mendapatkan tiket lagi? Apa kata orang-orang kalau kami tidak mudik? Bagaimana jika kami lebaran di Bandung ini dengan sepinya perkampungan anak kos yang semuanya sedang mudik?

Stasiun tinggal dua belokan saja. Saat itu posisi taksi online yang saya tumpangi berada di Jl. Pajajaran akan belok ke Jl. Cicendo. Faktanya mobil ini sudah tidak bisa bergerak bahkan sebelum belok karena macetnya Jl. Cicendo. Dengan keajaiban teknologi macet itu bisa terlihat di aplikasi peta online kami. Panjang Jl. Cicendo sampai belokan terakhir sebelum stasiun di Jl. Kebon Kawung adalah sekitar 600 meter. SUDAH JAM 15.30! Lima belas menit menuju keberangkatan kereta, saya memutuskan untuk pamit ke supirnya dan mengajak adik saya untuk lari dari titik itu juga ke stasiun.

Bak adegan-adegan perfilman, kami berlari di trotoar yang tidak terlalu baik itu, masing-masing membawa 1 ransel, serta 1 tas slempang dan 1 kresek besar yang dibawa bergantian. Untungnya kami tidak dilihat sebagai copet, jambret, atau maling, karena dari penampilan kami sudah menunjukkan kami hanyalah masyarakat yang akan mudik. Sebenarnya tadi sempat pesan ojek online, tapi memang benar-benar tidak memungkinkan lagi, di jalanan sebelah kiri kami kendaraan benar-benar belum bergerak sama sekali. Entah di mana pengendara yang menerima pesanan ojek online ku itu. Untungnya juga kami berdua cukup aktif berolahraga sehingga tidak saling menunggu, malah salip-menyalip berlari menuju stasiun. Mungkin hampir 1 km kami berlari dan sampailah kami di stasiun dengan ngos-ngosan. Tidak sampai 5 menit setelah kami duduk di dalam kereta, kereta berangkat. 


Ku lari ke hutan kemudian ke pantai. Tidak bernyanyi ku tidak pula berteriak ku. Sekadar mencari tahu seberapa halus makhluk halus yang bias...

Ku lari ke hutan kemudian ke pantai. Tidak bernyanyi ku tidak pula berteriak ku. Sekadar mencari tahu seberapa halus makhluk halus yang biasa digunjingkan di Kamis malam.

Halus yang berbeda dengan tatapanmu hari kemarin. Perlahan tertengadahkan di atas gawai pintar. Perlahan memancarkan seberkas sinarnya. Menembus keramaian dari bangku taman.

Bersandal jepit kau melangkah mendekat menuju kedaiku membeli seblak langgananmu. Masih saja aku kesulitan membuka pembicaraan meski hanya sekadar bertanya apa kabar.

Apakah patut mencoba seperti yang terdahulu, mengawali interaksi dengan obrolan pemerataan pembangunan negeri? Atau pergolakan politisasi yang merasuki semua aspek kehidupan? Atau sekadar mengungkap fakta lebih sedikitnya kadar micin Indom*e di luar negeri? Timbul pro kontra dalam jiwa dan raga.

Alangkah beruntungnya telah tahu namamu, dari tanda nama yang selalu kau kalungkan sehingga dapat terselipkan dalam doaku selalu termasuk doa sebelum makan, dengan harapan dapat makan bersama nanti di suatu waktu

Namun kemudian kucing abu-abu itu tampak menggerutu. Seakan ingin menyampaikan pesan. Pesan kebingungan apa kaitannya dengan makhluk halus.

Sudahlah. Lebih baik tidak gegabah. Lebih baik diam saja. Bagai burung pungguk merindukan bulan. Aku hanyalah penjual seblak sedangkan kau pegawai kantoran.