Tahun 2019 sudah memasuki bulan ketujuh. Bulan sebelumnya kita menikmati berkumpul bersama keluarga di libur lebaran. Lebaran tahun ini ter...

Cerita Lebaran 2019: Lari

Tahun 2019 sudah memasuki bulan ketujuh. Bulan sebelumnya kita menikmati berkumpul bersama keluarga di libur lebaran. Lebaran tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya kalau terasa sama malah jadi tidak wajar. Ini hanya basa-basi saja. 

Masih menjadi orang yang hidup di kota orang, aku mengikuti kebiasaan sebagian besar masyarakat negeri ini, yaitu mudik. Aku berburu tiket mudik lalu akhirnya mendapatkan 2 tiket di tanggal 26 Mei bersama si adik. Kereta berangkat pukul 15.45 WIB. Hari itu terlihat sangat santai, aku mengerjakan beberapa pekerjaan sampai siang dan sedang malas untuk beli oleh-oleh karena sudah sering, sudah bosan juga orang rumah dengan oleh-oleh yang itu-itu saja. Hanya adik yang membelikan pesanan mukenah satu kresek besar. Tidak terlintas sedikitpun dalam alam bawah sadarku bahwa itu adalah hari Minggu. Kami berdua berangkat ke stasiun naik taksi online sekitar pukul setengah 3 sore, yang menurut perkiraan kami bisa di stasiun sampai dengan santai. Namun, manusia hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan. 

Di perjalanan kami berbincang santai dengan sang supir sampai ternyata si supir mencari jalan alternatifnya karena menghindari macet. Aku baru sadar sepenuhnya kalau itu hari Minggu, masih jam-jam macet, hari-hari mudik, dan naik mobil. Jalan alternatif pun macet. Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit. Khawatir, cemas, jantung berdegup kencang seperti genderang mau perang. Apakah yang akan terjadi jika kami ketinggalan kereta? Apakah mungkin bisa mendapatkan tiket lagi? Apa kata orang-orang kalau kami tidak mudik? Bagaimana jika kami lebaran di Bandung ini dengan sepinya perkampungan anak kos yang semuanya sedang mudik?

Stasiun tinggal dua belokan saja. Saat itu posisi taksi online yang saya tumpangi berada di Jl. Pajajaran akan belok ke Jl. Cicendo. Faktanya mobil ini sudah tidak bisa bergerak bahkan sebelum belok karena macetnya Jl. Cicendo. Dengan keajaiban teknologi macet itu bisa terlihat di aplikasi peta online kami. Panjang Jl. Cicendo sampai belokan terakhir sebelum stasiun di Jl. Kebon Kawung adalah sekitar 600 meter. SUDAH JAM 15.30! Lima belas menit menuju keberangkatan kereta, saya memutuskan untuk pamit ke supirnya dan mengajak adik saya untuk lari dari titik itu juga ke stasiun.

Bak adegan-adegan perfilman, kami berlari di trotoar yang tidak terlalu baik itu, masing-masing membawa 1 ransel, serta 1 tas slempang dan 1 kresek besar yang dibawa bergantian. Untungnya kami tidak dilihat sebagai copet, jambret, atau maling, karena dari penampilan kami sudah menunjukkan kami hanyalah masyarakat yang akan mudik. Sebenarnya tadi sempat pesan ojek online, tapi memang benar-benar tidak memungkinkan lagi, di jalanan sebelah kiri kami kendaraan benar-benar belum bergerak sama sekali. Entah di mana pengendara yang menerima pesanan ojek online ku itu. Untungnya juga kami berdua cukup aktif berolahraga sehingga tidak saling menunggu, malah salip-menyalip berlari menuju stasiun. Mungkin hampir 1 km kami berlari dan sampailah kami di stasiun dengan ngos-ngosan. Tidak sampai 5 menit setelah kami duduk di dalam kereta, kereta berangkat. 


0 Komentar: