Ku lari ke hutan kemudian ke pantai. Tidak bernyanyi ku tidak pula berteriak ku. Sekadar mencari tahu seberapa halus makhluk halus yang biasa digunjingkan di Kamis malam.
Halus yang berbeda dengan tatapanmu hari kemarin. Perlahan tertengadahkan di atas gawai pintar. Perlahan memancarkan seberkas sinarnya. Menembus keramaian dari bangku taman.
Bersandal jepit kau melangkah mendekat menuju kedaiku membeli seblak langgananmu. Masih saja aku kesulitan membuka pembicaraan meski hanya sekadar bertanya apa kabar.
Apakah patut mencoba seperti yang terdahulu, mengawali interaksi dengan obrolan pemerataan pembangunan negeri? Atau pergolakan politisasi yang merasuki semua aspek kehidupan? Atau sekadar mengungkap fakta lebih sedikitnya kadar micin Indom*e di luar negeri? Timbul pro kontra dalam jiwa dan raga.
Alangkah beruntungnya telah tahu namamu, dari tanda nama yang selalu kau kalungkan sehingga dapat terselipkan dalam doaku selalu termasuk doa sebelum makan, dengan harapan dapat makan bersama nanti di suatu waktu
Namun kemudian kucing abu-abu itu tampak menggerutu. Seakan ingin menyampaikan pesan. Pesan kebingungan apa kaitannya dengan makhluk halus.
Sudahlah. Lebih baik tidak gegabah. Lebih baik diam saja. Bagai burung pungguk merindukan bulan. Aku hanyalah penjual seblak sedangkan kau pegawai kantoran.
Ku lari ke hutan kemudian ke pantai. Tidak bernyanyi ku tidak pula berteriak ku. Sekadar mencari tahu seberapa halus makhluk halus yang bias...
Di Bawah Langit Hari Kemarin
About author: D.F. Syahbana
"Biasanya orang yang baru memiliki ilmu sejumput mengira air kobokan adalah samudera raya, mengira batang pisang adalah tiang-tiang langit" - Prabu Angling Darma
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Mungkin kucing itu menggerutu karena tidak diberi seblak. Ditunggu tulisan edisi Ramadhan nya
BalasHapus