Tidak dapat dipungkiri bahwa ada manusia  yang ingin berbeda, memang terlahir berbeda,  tentunya dengan caranya sendiri, sesuka hat...

Berbasa-basi sampai Berbusa-busa Bisa Bisu



Tidak dapat dipungkiri bahwa ada manusia  yang ingin berbeda, memang terlahir berbeda, tentunya dengan caranya sendiri, sesuka hatinya sendiri. Entah itu bawaan dari lahir ataupun terbentuk karena lingkungannya. Bahkan sekadar menanyakan "apa kabar?" di awal percakapan sepertinya cukup menguras energi. Atau mengawali pembicaraan dengan "Cuacanya cerah ya hari ini.", dan "Tadi macet ga?". Padahal sesederhana itu, ya kan? Tapi apa tidak mending langsung to the point saja?

Dalam kongkow, nongki, atau ngopi santuy di beberapa kesempatan, candaan umum masa kini, masa lalu, dan mungkin masa depan sepertinya sangat sulit untuk membuat tertawa, kecuali hanya tertawa untuk menghormati saja. Jadinya, obrolan santai sering menjadi berat. Tak heran membentuk citra serius menurut anggapan beberapa orang. Padahal hanya tidak suka tema yang biasa, tidak suka yang klise. Contohnya seperti kata-kata  yang cenderung lucu di KBBI yang jarang digunakan, Misteri kota Rock Bottom di serial Spongebob Squarepants, atau bagian otak sulcus occipitotemporal yang merupakan tempat disimpannya memori tentang Pokemon. Mencoba mengeluarkan candaan pun kadang sulit atau lama untuk dimengerti orang lain, entah karena standar humornya sangat tinggi atau ya itu tadi, berbeda dengan orang biasanya. 

Kopi senja adalah indie. kadang hujan juga menjadi bahan. sepertinya itu masih menjadi salah satu patokan pergaulan. Dulu memang sempat suka senja dan kopi, sempat mengutip tentang senja, kopi, dan hujan. Itu dulu sekali, ketika masih berada di bawah threshold (batasan) yang tidak terlihat ke permukaan. Setelah semua itu menjadi mainstream, sudah tidak menarik, sudah banyak yang mengaitkan tentangnya, sudah menjadi umum di mana-mana, tidak seru lagi. Sebenarnya Kalau kopi sih masih diminum setiap hari, karena murni karena enak dari dulu, bukan karena lagi jamannya.


Namun, semakin bertambahnya usia, semakin banyak berinteraksi dengan orang-orang baru, orang yang lama tidak bertemu, atau dengan orang-orang dekat yang semakin terkuak sifat aslinya. Semakin bergulirnya waktu, semakin tahu basa-basi itu juga perlu, membahas hal umum sebelum to the point itu perlu (tergantung kondisi sih). Tapi jangan sampai berbusa-busa. Semua yang berlebihan itu tidak baik. Pengecualian untuk kopi-senja-kopi-senja indie dll itu, sebaiknya tidak perlu dibicarakan lagi, mending pakai headset lalu membisu.

Tidak suka hal-hal klise pangkal kesulitan mengawali pembicaraan. 
Aku.

0 Komentar:

*Sluuurp* Seorang pria lanjut usia menjual es krim yang sangat enak, dengan variasi roti es krim dan es krim dalam cup. Beliau ba...

Melihat Para Pencari Nafkah


*Sluuurp*

Seorang pria lanjut usia menjual es krim yang sangat enak, dengan variasi roti es krim dan es krim dalam cup. Beliau baru membuka lapaknya sekitar pukul 10.30. Mendekati waktu sholat Jumat orang-orang mulai antre mengerumuni lapak beliau untuk membeli es krim coklat dan durian yang enak itu, lebih ramai lagi setelah sholat Jumat. Tidak lama setelah itu, beliau sudah mulai beres-beres lapaknya karena dagangannya laris manis habis terjual dalam waktu yang cukup singkat.

Saya tidak suka antre panjang-panjang, jadi saya biasanya beli es krim itu di awal beliau membuka lapaknya. hehe. Suatu ketika sepulang Jumatan, saya melintas di sekitar Pasar Jumat Salman, melihat bapak penjual es krim itu sedang sibuk melayani para pembeli. Keringat mulai bercucuran menetes di wajahnya yang keriput itu. Namun tak nampak lelah dalam raut wajahnya. Hanya senyum yang tergambar jelas mewakili kebahagiaan menerima rezeki di hari yang penuh berkah itu. Semangat semakin membara.

 
 Penasaran kan?

Di hari Minggu, aku jalan-jalan di Pasar Gasibu. Sekedar melihat-lihat baju-baju, yang belanja lebih banyak ibu-ibu. Tak terasa aku membeli jajan sampai dua puluh ribu. Di situ juga aku melihat para bapak berdagang dengan semangatnya. Pagi buta ditaklukkannya demi mempersiapkan lapak dengan rapi. Di jalan antara lapak-lapak itu tiba-tiba ada pria lewat mengendarai sepeda motor, dengan jaket ojek onlinenya. Kebetulan saat itu masih sangat pagi sehingga keadaan belum ramai pengunjung. Salah satu perjuangan juga, mungkin pria itu sedang buru-buru menjemput pelanggan. 

Di pagi hari yang lain, aku dengan santai bersepeda, melihat kemacetan-kemacetan melanda. Memang saat itu adalah jam-jam berangkat kerja. Terlihat sekilas laki-laki berpakaian rapi di balik kemudi kendaraan-kendaraan itu. Melihat kepadatan kota, aku jadi teringat juga kepadatan ibukota. Kepadatan yang sangat tinggi di ibukota tidak lain disebabkan oleh ibukota yang juga pusatnya perekonomian Indonesia. Mencari uang di sana lah tempatnya. Di jalanan, di kereta, di pasar, di sana, di situ, di mana-mana padat, tidak ketinggalan juga di kuburan, padat "penduduk"nya. Oke, abaikan yang terakhir.  Itulah perjuangan, perjuangan di jalan Allah bagi seorang pria untuk keluarga. Pergi yang pulangnya dinanti, lelah yang keringatnya berharga, dan pikiran yang setiap detiknya terbayar. 

Jika melihat orang-orang sedang bekerja keras, sedikit banyak selalu mengingatkanku pada sosok Alm. Bapak. Aku di sini sekarang juga karena perjuangannya. Pak, aku suka playlist lagu jadulmu, aku ingin lagi mendengar guyonan bapak-bapak darimu, aku ingin lagi berdiskusi berat denganmu, aku merasa masih butuh kerasnya bimbinganmu, dan sebenarnya aku masih ingin belajar hidup darimu.



Aku yakin kau cukup bawa bekal
Dan aku bangga jadi anakmu
Ayah aku berjanji
Akan aku kirimkan doa yang pernah engkau ajarkan ke padaku
Setiap sujud sembahyang engkau hadir terbayang
Tolong bimbinglah aku meskipun kau dari sana
Sesungguhnya lah aku menangis sangat lama
Namun aku pendam agar engkau berangkat dengan tenang
Sesungguhnya lah aku merasa belum cukup berbakti
Namun aku yakin engkau telah memaafkanku

(Ayah Aku Mohon Maaf - Ebiet G. Ade)

0 Komentar:

Bandung, 25 Juli 2019 Di tengah persaingan ojek-ojek dan taksi-taksi online yang makin menegaskan eksistensinya di negeri ini, say...

Kegelisahan Nasib Angkot Kalapa-Dago

Bandung, 25 Juli 2019

Di tengah persaingan ojek-ojek dan taksi-taksi online yang makin menegaskan eksistensinya di negeri ini, saya tetap memilihi naik angkot untuk rute-rute yang terjangkau angkot. Kalo menurut saya, prioritas transportasi: jalan kaki-sepeda-angkot (transportasi umum)-oj/taks ol- kendaraan pribadi. Saya sudah seperti para SJW lingkungan yang mengkampanyekan kurangi penggunaan kendaraan pribadi agar mengurangi emisi gas karbon dan mengurangi tingkat kemacetan. Tapi saat ada promo, saya menukar urutan prioritas ojol dan angkot. hehe. 

Hari ini saya naik angkot Kalapa-Dago. Memilih naik angkot juga karena ojol sudah mahal dan tidak ada promo di aplikasi-aplikasi ojol saat itu. Saya naik dari dekat terminal Kebon Kalapa sampai turun di Dago, hampir keseluruhan trayek.  Sendirian. Tidak ada orang lain yg naik maupun turun sepanjang perjalanan . Kang driver udah ngetem bbrp kali pun tidak dapat menarik perhatian orang-orang untuk ngangkot. Gatau kalo yang selain orang, ikut naik apa tidak. Yang pasti, sepenglihatan saya di dalam angkot hanya pak supir dan gorengan yang sedang saya makan. Sudah seperti nyarter 1 mobil angkot sendirian, atau naik taksi online tapi dengan harga sangat murah tanpa promo.

Sebenarnya saya sudah sering menjadi private passenger of public transportation seperti ini, yang paling sering adalah saat naik angkot dari stasiun ke tempat tinggal (+/-5 km). Ini bukan cerita horor di malam jumat. Cuma bingung saja bagaimana sebaiknya angkot-angkot ini. Dengan sistemnya yang masih konvensional, sudah barang tentu kekalahan di depan mata menghadapi persaingan transportasi modern.

Apa sudah ada kebijakan yg mengembangkan angkot-angkot ini agar lebih bersaing? atau memang sengaja perlahan dibiarkan punah?

Btw, apa kabar angkot TST di Malang?


Gambar: Angkot The Game (Indonesian PC Game)

0 Komentar:

Tahun 2019 sudah memasuki bulan ketujuh. Bulan sebelumnya kita menikmati berkumpul bersama keluarga di libur lebaran. Lebaran tahun ini ter...

Cerita Lebaran 2019: Lari

Tahun 2019 sudah memasuki bulan ketujuh. Bulan sebelumnya kita menikmati berkumpul bersama keluarga di libur lebaran. Lebaran tahun ini terasa berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya. Sebenarnya kalau terasa sama malah jadi tidak wajar. Ini hanya basa-basi saja. 

Masih menjadi orang yang hidup di kota orang, aku mengikuti kebiasaan sebagian besar masyarakat negeri ini, yaitu mudik. Aku berburu tiket mudik lalu akhirnya mendapatkan 2 tiket di tanggal 26 Mei bersama si adik. Kereta berangkat pukul 15.45 WIB. Hari itu terlihat sangat santai, aku mengerjakan beberapa pekerjaan sampai siang dan sedang malas untuk beli oleh-oleh karena sudah sering, sudah bosan juga orang rumah dengan oleh-oleh yang itu-itu saja. Hanya adik yang membelikan pesanan mukenah satu kresek besar. Tidak terlintas sedikitpun dalam alam bawah sadarku bahwa itu adalah hari Minggu. Kami berdua berangkat ke stasiun naik taksi online sekitar pukul setengah 3 sore, yang menurut perkiraan kami bisa di stasiun sampai dengan santai. Namun, manusia hanya bisa berencana, selebihnya Tuhan yang menentukan. 

Di perjalanan kami berbincang santai dengan sang supir sampai ternyata si supir mencari jalan alternatifnya karena menghindari macet. Aku baru sadar sepenuhnya kalau itu hari Minggu, masih jam-jam macet, hari-hari mudik, dan naik mobil. Jalan alternatif pun macet. Jam sudah menunjukkan pukul tiga lebih lima belas menit. Khawatir, cemas, jantung berdegup kencang seperti genderang mau perang. Apakah yang akan terjadi jika kami ketinggalan kereta? Apakah mungkin bisa mendapatkan tiket lagi? Apa kata orang-orang kalau kami tidak mudik? Bagaimana jika kami lebaran di Bandung ini dengan sepinya perkampungan anak kos yang semuanya sedang mudik?

Stasiun tinggal dua belokan saja. Saat itu posisi taksi online yang saya tumpangi berada di Jl. Pajajaran akan belok ke Jl. Cicendo. Faktanya mobil ini sudah tidak bisa bergerak bahkan sebelum belok karena macetnya Jl. Cicendo. Dengan keajaiban teknologi macet itu bisa terlihat di aplikasi peta online kami. Panjang Jl. Cicendo sampai belokan terakhir sebelum stasiun di Jl. Kebon Kawung adalah sekitar 600 meter. SUDAH JAM 15.30! Lima belas menit menuju keberangkatan kereta, saya memutuskan untuk pamit ke supirnya dan mengajak adik saya untuk lari dari titik itu juga ke stasiun.

Bak adegan-adegan perfilman, kami berlari di trotoar yang tidak terlalu baik itu, masing-masing membawa 1 ransel, serta 1 tas slempang dan 1 kresek besar yang dibawa bergantian. Untungnya kami tidak dilihat sebagai copet, jambret, atau maling, karena dari penampilan kami sudah menunjukkan kami hanyalah masyarakat yang akan mudik. Sebenarnya tadi sempat pesan ojek online, tapi memang benar-benar tidak memungkinkan lagi, di jalanan sebelah kiri kami kendaraan benar-benar belum bergerak sama sekali. Entah di mana pengendara yang menerima pesanan ojek online ku itu. Untungnya juga kami berdua cukup aktif berolahraga sehingga tidak saling menunggu, malah salip-menyalip berlari menuju stasiun. Mungkin hampir 1 km kami berlari dan sampailah kami di stasiun dengan ngos-ngosan. Tidak sampai 5 menit setelah kami duduk di dalam kereta, kereta berangkat. 


0 Komentar:

Ku lari ke hutan kemudian ke pantai. Tidak bernyanyi ku tidak pula berteriak ku. Sekadar mencari tahu seberapa halus makhluk halus yang bias...

Di Bawah Langit Hari Kemarin

Ku lari ke hutan kemudian ke pantai. Tidak bernyanyi ku tidak pula berteriak ku. Sekadar mencari tahu seberapa halus makhluk halus yang biasa digunjingkan di Kamis malam.

Halus yang berbeda dengan tatapanmu hari kemarin. Perlahan tertengadahkan di atas gawai pintar. Perlahan memancarkan seberkas sinarnya. Menembus keramaian dari bangku taman.

Bersandal jepit kau melangkah mendekat menuju kedaiku membeli seblak langgananmu. Masih saja aku kesulitan membuka pembicaraan meski hanya sekadar bertanya apa kabar.

Apakah patut mencoba seperti yang terdahulu, mengawali interaksi dengan obrolan pemerataan pembangunan negeri? Atau pergolakan politisasi yang merasuki semua aspek kehidupan? Atau sekadar mengungkap fakta lebih sedikitnya kadar micin Indom*e di luar negeri? Timbul pro kontra dalam jiwa dan raga.

Alangkah beruntungnya telah tahu namamu, dari tanda nama yang selalu kau kalungkan sehingga dapat terselipkan dalam doaku selalu termasuk doa sebelum makan, dengan harapan dapat makan bersama nanti di suatu waktu

Namun kemudian kucing abu-abu itu tampak menggerutu. Seakan ingin menyampaikan pesan. Pesan kebingungan apa kaitannya dengan makhluk halus.

Sudahlah. Lebih baik tidak gegabah. Lebih baik diam saja. Bagai burung pungguk merindukan bulan. Aku hanyalah penjual seblak sedangkan kau pegawai kantoran.




1 Komentar:

Wahai kura-kura yang bijaksana, tahukah kau serunya merantau? meninggalkan rumah beserta isinya, belajar hidup mandiri, bertang...

Mengajak Kura-kura Merantau, Kura-kura Menjawab...




Wahai kura-kura yang bijaksana,
tahukah kau serunya merantau?
meninggalkan rumah beserta isinya,
belajar hidup mandiri,
bertanggung jawab,
dan menemukan jati diri,
lalu merasakan rindunya

Wahai kura-kura yang bersahaja,
suatu saat nanti kau harus mencobanya,
walau hanya sedikit perjalanan keluar rumah,
tinggal di tempat baru,
mungkin kos-kosan, kontrakan, apartemen,
atau sekadar semalam di hotel yang lebih mewah dari rumahmu,
jangan takut tidak berbentuk kura-kura

Wahai kura-kura yang berkharisma,
matahari menyinari bunga-bunga
menghangatkan seisi dunia
pepohonan hijau dan gagahnya pegunungan
hiruk pikuk manusia membangun peradaban
dengan gedung-gedung tinggi menjulang
lautan luas siap diterjang

Wahai kura-kura yang berbudi luhur,
sepertinya kau menganggapku melantur,
yasudah kalau kau ingin terus dalam rumahmu yang agak bulat itu,
kau tidak akan menikmati kopi di jendela kereta,
saat senja dan hujan deras di luar sana.




Kura-kura menjawab,

Wahai manusia yang sering mengkhayal,
apakah kau tidak pernah membaca?
aku membawa rumahku ke mana pun aku pergi,
termasuk leluhurku saat menang balap lari dengan kelinci
spesiesmu pasti juga sudah meneliti
bagaimana anatomi spesiesku dalam rumah kecil ini

Wahai manusia yang mengeluh melulu,
bukannya aku tidak bisa keluar rumahku,
bukannya aku tidak mau keluar rumahku,
tapi rumahku adalah tubuhku,
yang sudah ku dapat sejak dalam telur dahulu

Wahai manusia makhluk paling sempurna,
sudah sepantasnya dirimu bersyukur,
bebas bergerak ke manapun inginmu,
kau kuasai darat, air, udara dengan otakmu
bijaklah kalian merawat lingkungan,
bukannya malah menghancurkan,
seperti plastik-plastik di lautan,
tidakkah kau kasihan dengan kerabatku para penyu?

Wahai manusia pemimpin dunia,
sering aku bersyukur kepada-Nya
sudah mendapat rumah secara cuma-cuma,
tak sepertimu yang harus mengumpulkan uang dulu,
untuk kemudian membangun dengan mengangsur,
ditambah perizinan yang begitu membingungkan,
masih ada pula pajak di hari kemudian
ha ha ha ha ...


 


Squirtle: giphy.com
Red-eared slider Turtle (Trachemys scripta elegans) in my house, +/- 10 years old

0 Komentar:

Bandung, 2 Januari 2019. Masa-masa liburan akhir-awal tahun seperti ini enaknya pulang ke kampung halaman bertemu sanak famili. Aku menc...

Impulsif, Keinginan Mendadak


Bandung, 2 Januari 2019.

Masa-masa liburan akhir-awal tahun seperti ini enaknya pulang ke kampung halaman bertemu sanak famili. Aku mencoba melawan kerinduan saja lah, tetap di tanah rantauan walaupun sendirian. Sebenarnya karena ingin fokus mengerjakan tesis, dan tiket pulang mahal, hahaha. Tapi semangat seringkali datang dan pergi, datang sekali lama dia tak kembali. Mungkin dia malah pulang kampung.

Apakah benar, dari 360 sendi pada tubuh manusia yang paling rawan dan sering sakit adalah sendi rian? Ah, tidak juga. Kesendirian tidak begitu menyiksaku, kesendirian tidak begitu mengkhawatirkanku, kesendirian malah membuat senangku karena introvert katanya. Dalam kesendirian ini untungnya tidak pernah ditanya calonmu mana dan kapan menikah, walaupun keinginan berpasangan itu tetap ada. hehe. Nanti, pasti ada saatnya. Jodoh itu di tangan Tuhan, perjuangan mengambilnya tidak mudah. Dalam kesendirian di liburan ini nampaknya jiwa petualangku tiba-tiba tumbuh. Sinyal impulse tiba-tiba masuk ke dalam diriku memunculkan respon berpetualang ke beberapa tempat.

Perkempingan di Gunung Puntang

1. Bersepeda ke Curug Cimahi

Bersepeda yang hanya ke situ-situ aja berkeliling kota suka-suka mulai terasa menjemukan. Hiruk pikuk kota apalagi di liburan seperti ini nampaknya lebih membosankan. Hanya lampu-lampu jalanan menghiasi hujan malam itu yang agak menarik. Dulu pernah bersepeda dari Bandung ke Tangkuban Perahu, dan di lain kesempatan ke Kawah Putih. Aku merasa ingin menantang raga bersepeda jauh lagi setelah selama ini hanya dilatih di sekeliling kota. Hari Sabtu malam (29/12) sebelum tidur, terlintas sekelibat dalam pikiran aku belum pernah ke Curug Cimahi. Minggu pagi (30/12), berangkatlah aku mengayuh sepeda menuju tanjakan yang seakan to infinity and beyond melewati Jl. Setiabudi - Jl. Sersan Bajuri - Jl. Kolonel Masturi. Sesekali menuntun sepeda tak terhindarkan karena betis yang seperti mau meledak dan kram paha yang tak tertahankan. Gerimis lucu seperti hujan salju sempat datang membuatku berteduh sambil menikmati suasana sendu di teras minimarket. Perbekalan dibeli dengan salah satu pembayaran elektronik terkemuka yang saat itu ada diskon 50%. Setelah reda ku beranjak mengayuh pedal sampai di air terjun itu dengan melewati tantangan tanjakan terakhir.

Nan jauh di sana
Sesampainya di pintu masuk, aku membeli tiket Rp17.000 untuk satu orang. Cukup mahal menurutku, mungkin karena dalam masa-masa liburan juga. Sepeda tidak bisa dibawa masuk karena jalur menuju air terjunnya adalah ribuan anak tangga menuruni tebing. Tempat ini sudah cukup hits ternyata. Sudah banyak spot foto ala-ala dengan latar belakang air terjun. Pastinya, aku tidak  tertarik mencobanya. hahaha. Foto asal-asalan aku ambil berdasarkan intuisi untuk dokumentasi saja. Aku terus melangkah melupakanmu lelah hati perhatikan sikapmu, menuruni anak-anak tangga selanjutnya. Sepanjang perjalanan terlihat pemandangan elok air terjun dari kejauhan. Sesampainya di tepian sungai, mulai terlihat keramaian di area air terjun. Kegiatan wajar dilakukan masyarakat pengunjung seperti foto-foto, bermain air, bermain air sambil foto-foto, pacaran, pacaran sambil bermain air, dan pacaran sambil bermain air sambil foto-foto. Aduh aduh. Jatuh cinta itu biasa saja. Aku menghela nafas panjang menikmati kesejukan udara sambil bersyukur sambil istighfar sambil berdoa supaya mereka lekas menikah saja, bagi yang belum menikah. Di kawasan air terjun Cimahi ini, sudah didukung beberapa fasilitas umum seperti warung makan, toilet, dan musala, tapi tak ada telepon umum. Ya memang sudah tak ada pemakainya sih. Cukup baik lah untuk tempat wisata yang dikembangkan mengikuti perkembangan tuntutan viral kaum milenial.

Hanya beberapa menit saja aku di sana karena perjalanan pulang masih sangat panjang. Pulangnya harus naik ribuan anak tangga yang tak tahu siapa ibu bapaknya. Stamina sudah menipis dibarengi dengan air minum yang sudah habis. Harus istirahat dulu ini. Di anak tangga ke-20 menuju pintu keluar yang juga pintu masuk, aku berpapasan dengan ibu-ibu yang sedikit sambat, " Turunnya mah enak, naiknya nanti gimana ini". Aku menjawab dalam hati, "Bisa kok bu, minimal seharian lah".

Aku pulang ke Bandung tidak lewat jalan berangkat yang tadi. Aku coba lewat Lembang saja, sudah lama tak ke sana. Aku terkalang lidah, manusia memang butuh hiburan dan liburan. Sepanjang jalan dari curug ke Lembang sangatlah padat. Mobil-mobil antre di tanjakan. Di Lembang juga padat sekali. Aku langsung pulang saja ke arah Dago Giri. Aku ingat kalau lewat sana pasti lewat Gunung Batu, sebuah bukit kecil yang dulu aku pernah kemping di sana. Ingin ku ke sana namun ternyata sedang ditutup, katanya sedang dibangun jalan. Perjalanan berlanjut melewati jalur alternatif menghindari kemacetan agar bisa mengebut meluncur di turunan. Itulah yang aku cari dari bersepeda ke dataran yang lebih tinggi. Bersatu dengan angin luncurlah sampai tujuan, kadang sok jago melepas dua tangan dan sesekali merekamnya dengan kamera hp. Setelah keluar dari jalan alternatif itu, aku bertemu kemacetan lagi sampai Dago tidak terputus satu jengkal pun. Hiperbola. Untungnya dengan sepeda masih bisa meliuk-liuk menyalip mobil dari kanan kiri.

Pemandangan lain

Rute berangkat 14.4 km menanjak 560 m
(Walking hanya sebagai ilustrasi karena Cycling not available)

Rute pulang 20.4 km turun 646 m
(Walking hanya sebagai ilustrasi karena Cycling not available)


2. Gunung Puntang

Minggu (30/12) malam berniat tidur lebih awal karena kelelahan. Tapi ternyata tak terlaksana karena baca-baca ulasan laptop tak terasa sampai jam 11 malam. Senin paginya (31/12) sudah bangun tapi sepertinya butuh hibernasi. Sekitar jam 5 tertidur lagi dan bangun-bangun jam dinding sudah menunjuk pukul 10. Ujug-ujug muncul tujuan wisata yang belum pernah aku kunjungi. Kali ini adalah Gunung Puntang. Aku tahunya Gunung Puntang adalah salah satu penghasil kopi enak. Jadi aku ingin beli kopi saja ke sana. Setelah dhuhur, aku langsung berangkat. Kali ini tidak bisa mengayuh lagi karena masih njarem. Sepeda motor yang sudah lama tidak diservis milik adikku jadi tunggangan kali ini. Aku ingin melihat bagaimana tantangan jalannya. Kalau memungkinkan, lain kali si sepeda akan ku ajak ke sana.

Gunung Puntang terletak di selatan Bandung, sejalur dengan arah menuju Pangalengan. Gunung ini mempunyai puncak yang tingginya 2223 mdpl. Perjalanan sekitar 2 jam karena aku bersepeda motor tidak terlalu ngegas sambil menikmati pemandangan yang baru bisa dinikmati saat mulai masuk perbukitannya. Sebelumnya, melewati daerah Bandung selatan, yang ada hanya kekhawatiran banjir kalau hujan datang dan penuh sesaknya lautan kendaraan. Untungnya sepeda motor ini kuat menanjak sampai tujuan. Tujuan membeli kopi saja berubah setelah aku melihat ada gerbang pintu masuk kawasan wisata Gunung Puntang.

Parkiran Pintu Masuk

Aku benar-benar baru tahu ada kawasan wisatanya ketika aku sudah sampai di depannya. 

Aku kira hanyalah gunung dengan jalur pendakian khusus. Memang keimpulsifan berwisata ini sangat tidak disiapkan, bahkan googling sekalipun. Sebenarnya ini sangat berbahaya. Apalagi dari sisi finansial. Ketika mencoba masuk, ternyata harga tiketnya adalah Rp25.000 per orang. Terkejut aku terheran-heran. Tapi mumpung sudah di sini, kenapa tidak masuk saja? mau ke mana lagi, mau bagaimana lagi, mau kapan lagi, mau apa lagi, dan mau dengan siapa lagi. Lengkap sudah pertanyaan 5W+1H untukku sendiri saat itu.

Setelah salat ashar di musala dekat pintu masuk, aku melihat papan petunjuk. Ohh jadi ini kawasan wisatanya. Kawasan wisata di kaki gunungnya. Di sini ternyata ada perkemahan, spot foto, air terjun, goa, reruntuhan bangunan belanda, dan jalur pendakian. Dari parkiran pintu gerbang, aku menuju parkiran lain di dalam kawasan yang lebih dekat ke spot-spot wisatanya. Mungkin karena saat itu menjelang malam tahun baru, kawasan wisata itu terasa cukup ramai. Yang menarik adalah banyak pemuda-pemudi pramuka bertugas membantu petugas kawasan wisata alam tersebut. Di Curug Cimahi juga begitu.

Ku berkeliling, sendirian, terserah kaki ingin melangkah ke mana. Pepohonan pinus menjadi peneduh dari awan mendung yang mulai mengkhawatirkan. Kemudian hujan pun turun meski tak begitu deras saat ku menikmati kejernihan air sungai yang dingin. Air yang meliuk-liuk melewati batuan alami mengibaratkan perjalanan hidup yang penuh rintangan. Baliho konservasi Owa Jawa mengingatkan kita untuk tetap menyayangi makhluk hidup lain serta menyeimbangkan alam. Tak makan waktu lama untuk hujan reda, aku berpindah ke tempat lain, yaitu Goa Belanda, yang lebih kecil jika dibandingkan Goa Belanda yang ada di Tahura Juanda. Aku bertemu dengan seorang bapak-bapak yang katanya  sering main di sini saat masa kecilnya dulu. Kawasan ini dulunya adalah perkebunan milik warga yang sekarang sudah disulap menjadi kawasan wisata. Sedangkan goa itu, dulunya adalah gudang senjata di zaman kolonial. Bapak itu di situ bersama anaknya yang masih kecil, bersama saudaranya juga yang bersama anaknya yang masih kecil. Jadi jumlah mereka berempat, 2 laki-laki dewasa dan 2 anak kecil. Mereka akan masuk ke goa itu dan saya langsung minta izin untuk ikut. Katanya goa itu punya pintu keluar di sisi lain bukit. Perjalanan kami menyusuri lorong gelap itu hanya disinari dengan 2 senter dan 1 lampu hp. Anak-anak digendong oleh masing-masing bapaknya. Sepanjang perjalanan lembab, licin, dan banyak genangan air, harus ekstra hati-hati dalam kegelapan itu. Untungnya si adek-adek tidak takut dan tidak ada yang aneh-aneh. Di dalam goa itu, si bapak sempat menunjukkan ada jalan dan ruangan lain yang sudah ditutup dan ada juga jalan buntu. Kurang lebih hanya 5 menit kami di dalam sana sampai menemukan sebuah lubang cahaya yaitu jalan keluarnya. Sesaat setelah keluar, aku yang berada di belakang rombongan menoleh ke belakang ke mulut goa pintu keluar. Aku rasa aku pernah melihat suasana ini. Apakah aku pernah ke sini sebelumnya? Apakah deja vu? Apakah dalam mimpi? Apakah dalam pengalaman mistis? Apakah... ohh baru ingat, ternyata saya pernah melihatnya di salah satu film horor lokal. Terima kasih perjalanannya, bapak-bapak!

Oke, sudah sore. Ku tak mau sampai rumah langit menyambutku dengan mega merah. Aku harus bergegas pulang. Harus ku relakan beberapa spot lain yang agak jauh untuk aku kunjungi suatu saat nanti. Tiba-tiba petugas parkir curhat dalam bahasa Sunda, kurang lebih artinya begini: "Ada cewek mendaki ke puncak, pingsan terus kejang-kejang kayak kesurupan (atau kesurupan kayak kejang-kejang?). Lagian, mendaki kok kayak mau foto-foto kayak mau ke mall. Kan harusnya pakai perlengkapan khusus yang lengkap". Dan aku cuma geleng-geleng kepala sambil sambil setuju dengan si bapak. Ada-ada saja kelakuan masyarakat negara berkembang ini. Melanjutkan ngobrol-ngobrol sedikit, lalu si bapak petugas parkir juga memprediksi menjelang malam nanti tempat ini akan semakin ramai, orang-orang banyak yang akan merayakan tahun baru di sini. Ternyata ngobrol dengan orang lain yang baru bertemu itu asyik juga ya. Dari penjual gorengan, anak-anak pramuka, bapak-bapak di goa, tukang parkir, dll. Ke mana saja aku ini. Dasar introvert.

Di perjalanan pulang aku baru mencapai tujuan awalku, yakni membeli kopi khas Puntang. Dua puluh lima ribu bisa direlakan begitu saja.

Rute berangkat dan pulang, PP 60an km. Turun ke Bandung Selatan, lalu naik lagi ke gunungnya.
(Walking hanya sebagai ilustrasi)




Pintu Masuk Goa Belanda

Sungai Mengalir Indah ke Samudera

Selamat Jalan!
Tidak jarang merenung dalam kesendirian


3. Memasak Pasta Tanpa Tuntunan Resep

Impulsif yang ini di kos saja, hanya memasak. Saat itu muncul dalam diriku keinginan memakan makanan luar negeri, yaitu pasta. Pertimbangan harga jadi yang utama, mendorongku agar tidak beli pasta di restoran-restoran. Aku yang jarang memasak mencoba memasak tapi lagi-lagi malas googling, padahal itu hal yang sangat mudah dewasa ini.

Pergilah aku ke minimarket terdekat membeli beberapa bahan makanan. Karena tidak tertarik membeli yang instan-instan, aku membeli bahan-bahan yang tidak instan. Pleonasme sering sekali ditemukan di dalam tulisanku. Aku tidak senekat itu membeli bumbu-bumbu mentah karena memang tidak bisa memasak. Aku membeli bumbu nasi goreng yang sudah jadi saja, yang secara intuisiku bisa dicampur dengan pasta, disertai kornet dan keju lembaran. Padahal tadinya tidak mau beli yang instan. Apa boleh buat, setidaknya tidak instan banget. Ada-ada saja kelakuan seorang manusia di negara berkembang ini.

Tanpa banyak pikir, aku mulai memasak dengan merebus pastanya dengan air mendidih. Baru ku sadari ternyata merebus pasta tidak sesebentar mie instan. Baru ku sadari juga, ternyata yang ku rebus adalah pasta yang harusnya disajikan untuk 2 porsi. Aku malah senang karena porsi makanku memang di atas standar. Pasti ini nanti akan mengenyangkan sekali, ada sebuah tantangan pikirku. Setelah merebus pasta, saatnya membuat bumbunya. Masih malas berselancar di dunia maya, aku langsung saja mencampurkan semua bumbu nasi goreng tadi dengan kornet, keju, dan sedikit mentega lalu menumisnya. Tak ada takaran. Sekilas ku teringat ada krimer serbaguna yang biasanya aku campurkan ke kopi. Ide liar tanpa referensi yang jelas muncul, bagaimana jika aku mencampurkannya ke sini? Agar ada creamy-creamy-nya, sepertinya harus dilarutkan dengan air dahulu. Akhirnya bumbu pasta itu sudah siap setelah ditambahkan krimer tadi. Tadaa... masakan pasta tidak jelas ini sudah siap dimakan. Hanya aku yang akan memakannya, jadi tidak usah khawatir ada yang menolak, protes, bahkan keracunan atau muntah-muntah. Pi'i de poeng, sing mangan yo aku dewe. Perwujudan seni bersikap bodo amat ada di sini.

Dan rasanya.... enak sekali. Masakan tidak jelas kali ini adalah salah satu masakan terenak yang pernah aku masak, karena jurinya ya diriku sendiri. Porsi dobel sangat terasa mengenyangkan, jadi juga bisa menikmati setiap sendok mak nyus-nya.

Memang tidak menarik tampilannya, tapi enak

0 Komentar: