Bandung, 2 Januari 2019. Masa-masa liburan akhir-awal tahun seperti ini enaknya pulang ke kampung halaman bertemu sanak famili. Aku menc...

Impulsif, Keinginan Mendadak


Bandung, 2 Januari 2019.

Masa-masa liburan akhir-awal tahun seperti ini enaknya pulang ke kampung halaman bertemu sanak famili. Aku mencoba melawan kerinduan saja lah, tetap di tanah rantauan walaupun sendirian. Sebenarnya karena ingin fokus mengerjakan tesis, dan tiket pulang mahal, hahaha. Tapi semangat seringkali datang dan pergi, datang sekali lama dia tak kembali. Mungkin dia malah pulang kampung.

Apakah benar, dari 360 sendi pada tubuh manusia yang paling rawan dan sering sakit adalah sendi rian? Ah, tidak juga. Kesendirian tidak begitu menyiksaku, kesendirian tidak begitu mengkhawatirkanku, kesendirian malah membuat senangku karena introvert katanya. Dalam kesendirian ini untungnya tidak pernah ditanya calonmu mana dan kapan menikah, walaupun keinginan berpasangan itu tetap ada. hehe. Nanti, pasti ada saatnya. Jodoh itu di tangan Tuhan, perjuangan mengambilnya tidak mudah. Dalam kesendirian di liburan ini nampaknya jiwa petualangku tiba-tiba tumbuh. Sinyal impulse tiba-tiba masuk ke dalam diriku memunculkan respon berpetualang ke beberapa tempat.

Perkempingan di Gunung Puntang

1. Bersepeda ke Curug Cimahi

Bersepeda yang hanya ke situ-situ aja berkeliling kota suka-suka mulai terasa menjemukan. Hiruk pikuk kota apalagi di liburan seperti ini nampaknya lebih membosankan. Hanya lampu-lampu jalanan menghiasi hujan malam itu yang agak menarik. Dulu pernah bersepeda dari Bandung ke Tangkuban Perahu, dan di lain kesempatan ke Kawah Putih. Aku merasa ingin menantang raga bersepeda jauh lagi setelah selama ini hanya dilatih di sekeliling kota. Hari Sabtu malam (29/12) sebelum tidur, terlintas sekelibat dalam pikiran aku belum pernah ke Curug Cimahi. Minggu pagi (30/12), berangkatlah aku mengayuh sepeda menuju tanjakan yang seakan to infinity and beyond melewati Jl. Setiabudi - Jl. Sersan Bajuri - Jl. Kolonel Masturi. Sesekali menuntun sepeda tak terhindarkan karena betis yang seperti mau meledak dan kram paha yang tak tertahankan. Gerimis lucu seperti hujan salju sempat datang membuatku berteduh sambil menikmati suasana sendu di teras minimarket. Perbekalan dibeli dengan salah satu pembayaran elektronik terkemuka yang saat itu ada diskon 50%. Setelah reda ku beranjak mengayuh pedal sampai di air terjun itu dengan melewati tantangan tanjakan terakhir.

Nan jauh di sana
Sesampainya di pintu masuk, aku membeli tiket Rp17.000 untuk satu orang. Cukup mahal menurutku, mungkin karena dalam masa-masa liburan juga. Sepeda tidak bisa dibawa masuk karena jalur menuju air terjunnya adalah ribuan anak tangga menuruni tebing. Tempat ini sudah cukup hits ternyata. Sudah banyak spot foto ala-ala dengan latar belakang air terjun. Pastinya, aku tidak  tertarik mencobanya. hahaha. Foto asal-asalan aku ambil berdasarkan intuisi untuk dokumentasi saja. Aku terus melangkah melupakanmu lelah hati perhatikan sikapmu, menuruni anak-anak tangga selanjutnya. Sepanjang perjalanan terlihat pemandangan elok air terjun dari kejauhan. Sesampainya di tepian sungai, mulai terlihat keramaian di area air terjun. Kegiatan wajar dilakukan masyarakat pengunjung seperti foto-foto, bermain air, bermain air sambil foto-foto, pacaran, pacaran sambil bermain air, dan pacaran sambil bermain air sambil foto-foto. Aduh aduh. Jatuh cinta itu biasa saja. Aku menghela nafas panjang menikmati kesejukan udara sambil bersyukur sambil istighfar sambil berdoa supaya mereka lekas menikah saja, bagi yang belum menikah. Di kawasan air terjun Cimahi ini, sudah didukung beberapa fasilitas umum seperti warung makan, toilet, dan musala, tapi tak ada telepon umum. Ya memang sudah tak ada pemakainya sih. Cukup baik lah untuk tempat wisata yang dikembangkan mengikuti perkembangan tuntutan viral kaum milenial.

Hanya beberapa menit saja aku di sana karena perjalanan pulang masih sangat panjang. Pulangnya harus naik ribuan anak tangga yang tak tahu siapa ibu bapaknya. Stamina sudah menipis dibarengi dengan air minum yang sudah habis. Harus istirahat dulu ini. Di anak tangga ke-20 menuju pintu keluar yang juga pintu masuk, aku berpapasan dengan ibu-ibu yang sedikit sambat, " Turunnya mah enak, naiknya nanti gimana ini". Aku menjawab dalam hati, "Bisa kok bu, minimal seharian lah".

Aku pulang ke Bandung tidak lewat jalan berangkat yang tadi. Aku coba lewat Lembang saja, sudah lama tak ke sana. Aku terkalang lidah, manusia memang butuh hiburan dan liburan. Sepanjang jalan dari curug ke Lembang sangatlah padat. Mobil-mobil antre di tanjakan. Di Lembang juga padat sekali. Aku langsung pulang saja ke arah Dago Giri. Aku ingat kalau lewat sana pasti lewat Gunung Batu, sebuah bukit kecil yang dulu aku pernah kemping di sana. Ingin ku ke sana namun ternyata sedang ditutup, katanya sedang dibangun jalan. Perjalanan berlanjut melewati jalur alternatif menghindari kemacetan agar bisa mengebut meluncur di turunan. Itulah yang aku cari dari bersepeda ke dataran yang lebih tinggi. Bersatu dengan angin luncurlah sampai tujuan, kadang sok jago melepas dua tangan dan sesekali merekamnya dengan kamera hp. Setelah keluar dari jalan alternatif itu, aku bertemu kemacetan lagi sampai Dago tidak terputus satu jengkal pun. Hiperbola. Untungnya dengan sepeda masih bisa meliuk-liuk menyalip mobil dari kanan kiri.

Pemandangan lain

Rute berangkat 14.4 km menanjak 560 m
(Walking hanya sebagai ilustrasi karena Cycling not available)

Rute pulang 20.4 km turun 646 m
(Walking hanya sebagai ilustrasi karena Cycling not available)


2. Gunung Puntang

Minggu (30/12) malam berniat tidur lebih awal karena kelelahan. Tapi ternyata tak terlaksana karena baca-baca ulasan laptop tak terasa sampai jam 11 malam. Senin paginya (31/12) sudah bangun tapi sepertinya butuh hibernasi. Sekitar jam 5 tertidur lagi dan bangun-bangun jam dinding sudah menunjuk pukul 10. Ujug-ujug muncul tujuan wisata yang belum pernah aku kunjungi. Kali ini adalah Gunung Puntang. Aku tahunya Gunung Puntang adalah salah satu penghasil kopi enak. Jadi aku ingin beli kopi saja ke sana. Setelah dhuhur, aku langsung berangkat. Kali ini tidak bisa mengayuh lagi karena masih njarem. Sepeda motor yang sudah lama tidak diservis milik adikku jadi tunggangan kali ini. Aku ingin melihat bagaimana tantangan jalannya. Kalau memungkinkan, lain kali si sepeda akan ku ajak ke sana.

Gunung Puntang terletak di selatan Bandung, sejalur dengan arah menuju Pangalengan. Gunung ini mempunyai puncak yang tingginya 2223 mdpl. Perjalanan sekitar 2 jam karena aku bersepeda motor tidak terlalu ngegas sambil menikmati pemandangan yang baru bisa dinikmati saat mulai masuk perbukitannya. Sebelumnya, melewati daerah Bandung selatan, yang ada hanya kekhawatiran banjir kalau hujan datang dan penuh sesaknya lautan kendaraan. Untungnya sepeda motor ini kuat menanjak sampai tujuan. Tujuan membeli kopi saja berubah setelah aku melihat ada gerbang pintu masuk kawasan wisata Gunung Puntang.

Parkiran Pintu Masuk

Aku benar-benar baru tahu ada kawasan wisatanya ketika aku sudah sampai di depannya. 

Aku kira hanyalah gunung dengan jalur pendakian khusus. Memang keimpulsifan berwisata ini sangat tidak disiapkan, bahkan googling sekalipun. Sebenarnya ini sangat berbahaya. Apalagi dari sisi finansial. Ketika mencoba masuk, ternyata harga tiketnya adalah Rp25.000 per orang. Terkejut aku terheran-heran. Tapi mumpung sudah di sini, kenapa tidak masuk saja? mau ke mana lagi, mau bagaimana lagi, mau kapan lagi, mau apa lagi, dan mau dengan siapa lagi. Lengkap sudah pertanyaan 5W+1H untukku sendiri saat itu.

Setelah salat ashar di musala dekat pintu masuk, aku melihat papan petunjuk. Ohh jadi ini kawasan wisatanya. Kawasan wisata di kaki gunungnya. Di sini ternyata ada perkemahan, spot foto, air terjun, goa, reruntuhan bangunan belanda, dan jalur pendakian. Dari parkiran pintu gerbang, aku menuju parkiran lain di dalam kawasan yang lebih dekat ke spot-spot wisatanya. Mungkin karena saat itu menjelang malam tahun baru, kawasan wisata itu terasa cukup ramai. Yang menarik adalah banyak pemuda-pemudi pramuka bertugas membantu petugas kawasan wisata alam tersebut. Di Curug Cimahi juga begitu.

Ku berkeliling, sendirian, terserah kaki ingin melangkah ke mana. Pepohonan pinus menjadi peneduh dari awan mendung yang mulai mengkhawatirkan. Kemudian hujan pun turun meski tak begitu deras saat ku menikmati kejernihan air sungai yang dingin. Air yang meliuk-liuk melewati batuan alami mengibaratkan perjalanan hidup yang penuh rintangan. Baliho konservasi Owa Jawa mengingatkan kita untuk tetap menyayangi makhluk hidup lain serta menyeimbangkan alam. Tak makan waktu lama untuk hujan reda, aku berpindah ke tempat lain, yaitu Goa Belanda, yang lebih kecil jika dibandingkan Goa Belanda yang ada di Tahura Juanda. Aku bertemu dengan seorang bapak-bapak yang katanya  sering main di sini saat masa kecilnya dulu. Kawasan ini dulunya adalah perkebunan milik warga yang sekarang sudah disulap menjadi kawasan wisata. Sedangkan goa itu, dulunya adalah gudang senjata di zaman kolonial. Bapak itu di situ bersama anaknya yang masih kecil, bersama saudaranya juga yang bersama anaknya yang masih kecil. Jadi jumlah mereka berempat, 2 laki-laki dewasa dan 2 anak kecil. Mereka akan masuk ke goa itu dan saya langsung minta izin untuk ikut. Katanya goa itu punya pintu keluar di sisi lain bukit. Perjalanan kami menyusuri lorong gelap itu hanya disinari dengan 2 senter dan 1 lampu hp. Anak-anak digendong oleh masing-masing bapaknya. Sepanjang perjalanan lembab, licin, dan banyak genangan air, harus ekstra hati-hati dalam kegelapan itu. Untungnya si adek-adek tidak takut dan tidak ada yang aneh-aneh. Di dalam goa itu, si bapak sempat menunjukkan ada jalan dan ruangan lain yang sudah ditutup dan ada juga jalan buntu. Kurang lebih hanya 5 menit kami di dalam sana sampai menemukan sebuah lubang cahaya yaitu jalan keluarnya. Sesaat setelah keluar, aku yang berada di belakang rombongan menoleh ke belakang ke mulut goa pintu keluar. Aku rasa aku pernah melihat suasana ini. Apakah aku pernah ke sini sebelumnya? Apakah deja vu? Apakah dalam mimpi? Apakah dalam pengalaman mistis? Apakah... ohh baru ingat, ternyata saya pernah melihatnya di salah satu film horor lokal. Terima kasih perjalanannya, bapak-bapak!

Oke, sudah sore. Ku tak mau sampai rumah langit menyambutku dengan mega merah. Aku harus bergegas pulang. Harus ku relakan beberapa spot lain yang agak jauh untuk aku kunjungi suatu saat nanti. Tiba-tiba petugas parkir curhat dalam bahasa Sunda, kurang lebih artinya begini: "Ada cewek mendaki ke puncak, pingsan terus kejang-kejang kayak kesurupan (atau kesurupan kayak kejang-kejang?). Lagian, mendaki kok kayak mau foto-foto kayak mau ke mall. Kan harusnya pakai perlengkapan khusus yang lengkap". Dan aku cuma geleng-geleng kepala sambil sambil setuju dengan si bapak. Ada-ada saja kelakuan masyarakat negara berkembang ini. Melanjutkan ngobrol-ngobrol sedikit, lalu si bapak petugas parkir juga memprediksi menjelang malam nanti tempat ini akan semakin ramai, orang-orang banyak yang akan merayakan tahun baru di sini. Ternyata ngobrol dengan orang lain yang baru bertemu itu asyik juga ya. Dari penjual gorengan, anak-anak pramuka, bapak-bapak di goa, tukang parkir, dll. Ke mana saja aku ini. Dasar introvert.

Di perjalanan pulang aku baru mencapai tujuan awalku, yakni membeli kopi khas Puntang. Dua puluh lima ribu bisa direlakan begitu saja.

Rute berangkat dan pulang, PP 60an km. Turun ke Bandung Selatan, lalu naik lagi ke gunungnya.
(Walking hanya sebagai ilustrasi)




Pintu Masuk Goa Belanda

Sungai Mengalir Indah ke Samudera

Selamat Jalan!
Tidak jarang merenung dalam kesendirian


3. Memasak Pasta Tanpa Tuntunan Resep

Impulsif yang ini di kos saja, hanya memasak. Saat itu muncul dalam diriku keinginan memakan makanan luar negeri, yaitu pasta. Pertimbangan harga jadi yang utama, mendorongku agar tidak beli pasta di restoran-restoran. Aku yang jarang memasak mencoba memasak tapi lagi-lagi malas googling, padahal itu hal yang sangat mudah dewasa ini.

Pergilah aku ke minimarket terdekat membeli beberapa bahan makanan. Karena tidak tertarik membeli yang instan-instan, aku membeli bahan-bahan yang tidak instan. Pleonasme sering sekali ditemukan di dalam tulisanku. Aku tidak senekat itu membeli bumbu-bumbu mentah karena memang tidak bisa memasak. Aku membeli bumbu nasi goreng yang sudah jadi saja, yang secara intuisiku bisa dicampur dengan pasta, disertai kornet dan keju lembaran. Padahal tadinya tidak mau beli yang instan. Apa boleh buat, setidaknya tidak instan banget. Ada-ada saja kelakuan seorang manusia di negara berkembang ini.

Tanpa banyak pikir, aku mulai memasak dengan merebus pastanya dengan air mendidih. Baru ku sadari ternyata merebus pasta tidak sesebentar mie instan. Baru ku sadari juga, ternyata yang ku rebus adalah pasta yang harusnya disajikan untuk 2 porsi. Aku malah senang karena porsi makanku memang di atas standar. Pasti ini nanti akan mengenyangkan sekali, ada sebuah tantangan pikirku. Setelah merebus pasta, saatnya membuat bumbunya. Masih malas berselancar di dunia maya, aku langsung saja mencampurkan semua bumbu nasi goreng tadi dengan kornet, keju, dan sedikit mentega lalu menumisnya. Tak ada takaran. Sekilas ku teringat ada krimer serbaguna yang biasanya aku campurkan ke kopi. Ide liar tanpa referensi yang jelas muncul, bagaimana jika aku mencampurkannya ke sini? Agar ada creamy-creamy-nya, sepertinya harus dilarutkan dengan air dahulu. Akhirnya bumbu pasta itu sudah siap setelah ditambahkan krimer tadi. Tadaa... masakan pasta tidak jelas ini sudah siap dimakan. Hanya aku yang akan memakannya, jadi tidak usah khawatir ada yang menolak, protes, bahkan keracunan atau muntah-muntah. Pi'i de poeng, sing mangan yo aku dewe. Perwujudan seni bersikap bodo amat ada di sini.

Dan rasanya.... enak sekali. Masakan tidak jelas kali ini adalah salah satu masakan terenak yang pernah aku masak, karena jurinya ya diriku sendiri. Porsi dobel sangat terasa mengenyangkan, jadi juga bisa menikmati setiap sendok mak nyus-nya.

Memang tidak menarik tampilannya, tapi enak

0 Komentar: