Satu bulan lebih saya berkutat dengan salah satu proyek transportasi di masa kerja praktik saya. Di masa kerja praktik kemarin,setiap hari...

Egoisme Berlalu Lintas


Satu bulan lebih saya berkutat dengan salah satu proyek transportasi di masa kerja praktik saya. Di masa kerja praktik kemarin,setiap hari saya menempuh perjalanan kurang lebih 10 km kali dua, pulang pergi kosan-kantor. Beberapa kendaraan sudah saya coba, mulai dari sepeda, motor, mobil, angkot, bus damri, tapi perahu dan pesawat belum. Selama perjalanan di tiap harinya dan sampai sekarang pun secara tidak sengaja saya merasakan apa yang terjadi di jalanan dengan beberapa kendaraan berbeda. Hasilnya hampir sama semua, ingin menang sendiri.

Pertama, sepeda. Sudah bertahun-tahun saya berteman dengan kendaraan terbaik dan tersehat ini. Kota Bandung dalam hal kemacetan lebih unggul dari Kota Malang. Saya memang masih sempat meliuk-liuk diantara antrean mobil macet. Ini salah satu keegoisan saya dalam berkendara. Akan tetapi pada suatu kemacetan tidak jarang juga saya ikut menunggu di dalam kemacetan itu. Di situasi lain, para pengendara sepeda juga punya sisi egois. Mentang-mentang tidak diberlakukan hukum khusus, biasanya banyak pesepeda yang menerobos lampu merah atau menggunakan trotoar. Saya pernah melakukannya, tapi itu sudah lama, jaman masih SMP dulu. Sekarang sudah tobat.

Kedua, angkot. Angkot adalah musuh sepeda di jalanan. Angkot. Pak sopir ingin mencari uang dari penumpang dengan cepat. Kadang ngebut di lajur kanan tapi calon penumpangnya di kiri jalan. Angkot pun menikung ke lajur kiri secara tiba-tiba. Para pesepeda yang berada di kiri jalan kadang harus mengerem mandadak, bahkan motor pun juga bisa terganggu. Tapi kalau kita di dalam angkot sebagai penumpang mungkin lebih sering tidak peduli dengan apa yang ada di luar angkot. Hal ini hampir sama dengan bus damri yang ukurannya lebih besar dari angkot.

Mobil pribadi. Pengguna mobil kadang juga menggunakan jalan seakan jalan neneknya sendiri. Lajur kiri yang biasanya untuk motor disikat saja oleh pengendara mobil. Badan jalan penuh tak ada celah untuk motor yang akan menyalip. Di Bandung, terdapat zona motor di perempatan lampu merah yang kadang hampir kosong karena memang motornya terjebak di belakang mobil-mobil yang memenuhi jalan. Tapi pengendara mobil sepertinya lebih banyak mengalahnya sih.

Motor lebih parah. Dengan body yang ramping dan kecepatan yang relatif bisa tinggi, motor mudah meliuk-liuk di jalanan mendahului mobil-mobil. Trotoar pun bisa jadi opsi pengganti jalan jika macet tak tertahankan. Para pejalan kaki dan pesepeda bisa jadi korbannya. Mobil pun tidak jarang dikambinghitamkan padahal motor yang salah. Apalagi di negara berkembang yang kita cintai ini sebagian besar pengguna jalan adalah sepeda motor. Motor kredit maupun yang sudah lunas.

Sebagai manusia, kita memang ingin menang sendiri. Tapi mbok ya ngalah sedikit lah sama yang lain.

Masalah ini perlu dikaji lagi ya. haha