Perjalanan  Minggu (9/11/14) pagi, aku, sepeda balap merah, dinaiki oleh pemilikku menuju tebing keraton, salah satu destinasinya da...

Pedal Berputar. Eh, Tebing Keraton.



Perjalanan 

Minggu (9/11/14) pagi, aku, sepeda balap merah, dinaiki oleh pemilikku menuju tebing keraton, salah satu destinasinya dari dulu. Start dari Dago bersama 2 temannya, pedalku terus dikayuhnya dari Dago terus ke atas. Dari terminal dago masih ke atas lagi sampai Tahura (Taman Hutan Raya) Ir.H. Juanda, lalu ke atas lagi ke arah Warung Bandrek, ke atas lagi dan akhirnya sampai di tebing keraton. Di beberapa pinggir jalan ada petunjuknya kok. 

Tak sesederhana itu. Tebing keraton itu berada di 1200 mdpl sedangkan dago sekitar 1000an mdpl. Jarak dari kampus ke Tahura sekitar 3 km, dari Tahura ke tujuan utama adalah 5 km. Perjalanan ke Tahura cukup lancar tak ada halangan berarti selain tanjakan, lalu di Tahura istirahat dulu. Setelah itu beda, menanjak, berliku, sebagian besar batu-batu atau aspal yang cukup hancur, walaupun beberapa meter jalan ada yang sudah bagus. Entah kenapa si Dwiky (pemilik) itu terus memaksaku yang berupa roadbike tua ini. Tahu kan, roda roadbike sepertiku ini kecil dan halus. Cocoknya di aspal biasa. Gigi depan juga cuma 2, sedangkan mountain bike punya 3, bisa lebih enteng. Tapi dia cukup perhatian juga, beberapa kali dia tidak menaikiku saat melewati jalanan yang tidak halus sama sekali. Entah karena dia tak kuat tanjakan atau memang kasihan ban halus ini. 

 
Inilah jalannya, ati-ati kalo mau ke sini
Setelah sekitar 2 jam perjalanan penuh rintangan, pukul 8 kami sampai di tujuan utama. Tiket masuknya 11.000 rupiah untuk 1 orang dan gratis untuk semua sepeda, parkirnya. Aku tidak bisa ikut masuk karena jalan dari pintu masuk menuju tebing hanya jalan setapak seperti jalanan hutan yang maksimal cuma bisa dilewati 2 orang. Aku dan teman sepedaku hanya bisa menunggu di parkiran dan terikat oleh gembok. 

Pemandangan Pohon-pohon Tahura

Di tebing itu, si Dwiky dan temannya foto-foto tanpaku. Kalo dari foto sih seperti itu. Tapi kata Tama, teman Dwiky, hasil di kamera tidak cukup melukiskan apa yang dilihat mata sesungguhnya. Sungguh Maha Suci Tuhan semesta alam yang menciptakan mata manusia. Tebing keraton bukan tebing yang luas. Tapi jika berdiri di tebing ini kita dapat melihat kurang lebih 180 derajat pemandangan yang sangat memanjakan mata. Pepohonan di bawah situ adalah Taman Hutan Raya. Cukup bahaya sih, soalnya pagarnya cuma bambu. 



Bawahnya tebing
Akhirnya ada fotoku, roadbike merah
 Pulangnya, tetap tersiksa. Biasanya aku dibawa Dwiky naik memang sering dituntun, turunnya dinaiki dan langsung meluncur. Kali ini beda. Karena jalanan batu tak sedikit, turun pun juga dituntun. 











Kehidupan

Mungkin perjalanan kali ini bisa kita jadikan analogi kehidupan. Kehidupan yang sangat berat. Ada orang yang hanya menghadapi tanjakan saja dalam hidupnya, ada yang melewati batu saja, atau ada yang hanya berliku-liku. Nah, kalau ini adalah gabungan ketiganya. Naik, tidak mulus, belok-belok, bahkan saat ada keringanan berupa turunan pun masih harus menghadapi batu-batuan. Dalam kehidupan ini kita juga harus punya senjata yang tepat dalam menghadapi beragam permasalahan. Tidak sepertiku yang pakai roda halus di jalanan batu.

0 Komentar: