Mledak-ledak... Palapa HME ITB melanjutkan misi besarnya di Kampung Lio.. Ide Rumah Baca Kampung Lio berawal dari social mapping De...

Rumah (Rak) Baca Kampung Lio



Mledak-ledak...

Palapa HME ITB melanjutkan misi besarnya di Kampung Lio..

Ide Rumah Baca Kampung Lio berawal dari social mapping Desember 2013 dan April 2014 yang menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Lio, Kec. Kabandungan, Kab. Sukabumi cukup tertinggal dalam hal pendidikan. Hanya 2 orang yang bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMP, sisanya merantau atau menikah setelah SD. Jarak SD maupun PAUD dari Kampung Lio juga cukup jauh. Untuk melanjutkan community development yang digalakkan generasi baru Palapa, dan masih kurangnya data-data social mapping, tim angkatan 2011 mengajukan sebuah proposal kegiatan ke Lembaga Kemahasiswaan ITB untuk membangun Rumah Baca di Kapmung Lio. Rumah baca ini selain untuk sedikit mendukung pendidikan di sana, khususnya anak-anak, juga bertujuan untuk mengetahui hubungan baik termasuk kerjasama antarwarga sana dan antara warga sana dan tim Palapa. 

Kegiatan ini baru bisa dilakukan kemarin, 3-5 April 2015 karena berbagai hal, dengan persiapan beberapa minggu sebelumnya. Survey sempat dilakukan dengan maksud meminta izin lagi pada Februari 2015 dan mendapat cerita siluman serigala. Perjalanan dilakukan di hari Jumat sehingga harus berhenti dulu Jumatan di masjid di daerah Padalarang. Perjalanan yang bertepatan dengan long weekend membuat waktu tempuh yang lebih lama, yaitu sekitar 7 jam karena padatnya kendaraan saat melewati Padalarang maupun Kota Sukabumi. 

Mledak-ledak...
Rencana awal, Jumat sore tim Palapa sejumlah 13 orang sudah sampai di Kec. Kabandungan. Karena macet dan sempat kesasar, tim Palapa baru sampai ParungKuda, jalan berkelok-kelok sebelum Kabandungan, ketika hari mulai tak punya mata, gelap. Kesasarnya karena implementasi teknologi yang kurang tepat, atau mungkin gangguan satelit, atau mungkin efek badai matahari, entahlah, yaitu mempercayai Google Maps pas salah belok di daerah Parung Kuda. Pas salah belok, Google Maps menunjukkan ada jalan lain menuju Kabandungan. Tapi ternyata, jalan tersebut adalah jalan kecil, lebarnya hanya cukup 1 mobil, dan melewati perkebunan kata para penduduk sekitar. Mobil nomor 2, mobil manual, sempat mengalami mledak-ledak yang sesungguhnya saat melewati tanjakan. Koplingnya berasap, dapat dikatakan ledakan kecil, sangat kecil. Aku tak tau apa dan kenapa itu, karena aku tak tau permobilan. 

Mledak-ledak..
Ledakan lain dalam kiasan terjadi ketika sampai di Kabandungan, di rumah Rhandy, Palapa 2011. Saat menurunkan tas-tas tim Palapa, ternyata ada 1 tas yang tidak ada. Setelah diingat-ingat, mungkin tas yang tidak ada itu ketinggalan di parkiran mobil ITB, tidak sempat dimasukkan ke mobil. Panik. Bingung. Gelisah. Syok. Mledak-ledak. Apalagi di dalam tas tersebut ada barang-barang penting, yaitu medik, perkakas pinjam punya Workshop HME, paku plus baut rak buku, dan pakaian pemilik tas tersebut. Singkat cerita, walaupun pikiran masih tidak tenang, kami bisa beristirahat dulu 1 malam di Kabandungan. Padahal rencananya sore harinya sudah ke Kampung Lio. Fyi, kampung Lio masih sekitar 3 km lagi dari daerah Kabandungan tapi tidak bisa dijangkau mobil. Melewati perkebunan dan sangat berbahaya kalau jalan malam hari. 


Sabtu pagi harinya, walaupun pikiran masih tidak tenang, kegiatan ke Kampung Lio masih dilanjutkeun (atau dipaksakan?). Baut dan paku untuk rak buku akhirnya bisa kami dapatkan, beli di toko material di Kabandungan. Untung-untungan bautnya pas di lubang rak. Perjalanan 2 km naik ojek dulu lalu jalan sekitar 1 km naik-turun-belok-belok sungguh mledak-ledak. Biasanya ke sana ya seperti itu. Tapi kali ini tim Palapa membawa papan-papan rak dan buku-buku dalam tas carrier yang akan diberikan, mungkin seberat salah satu ikon "besar" teman seangkatan kami. wkwkwk.   



Kegiatan kami kemarin bertepatan dengan renovasi Mushola kampung Lio yang didanai salah satu yayasan Arab di Sukabumi. Warga setempat kebanyakan ikut membantu renovasi yang baru berjalan 1 minggu itu. Penyusunan rak baca tetap dilakukan di salah satu rumah warga walaupun kami sendiri yang menyusunnya. Agak panjang ceritanya dari rencana Rumah Baca hanya menjadi Rak Baca. Awalnya agak susah mengajak anak-anak di sana untuk menikmati buku-buku yang ada. Akhirnya dengan beberapa cara, anak-anak ternyata tertarik juga. Rumah warga yang dijadikan tempat rak baca penuh dengan anak-anak. Sebenarnya dari tadi ada niatan ikut membantu renovasi Mushola. Maksud hati memeluk bulan apa daya tangan tak sampai. Di sana sepertinya saya hanya akan mengganggu pekerjaan dan mungkin menghambat karena sudah banyak warga yang bekerja. Akhirnya kebanyakan saya hanya ngobrol-ngobrol dengan warga dengan bahasa Sunda sebisanya. 








Mledak-ledak..
Betah juga ternyata anak-anak membaca, mewarnai, dan bermain di rak baca Palapa. Sejak Dhuhur sampai sebelum Maghrib buku-buku bergantian dibaca oleh anak-anak. Mledak-ledak. Kuis matematika dadakan juga sempat diadakan. Antusiasme anak-anak untuk belajar sangat terlihat jelas. Bapak pemilik rumah juga terlihat membaca beberapa buku ilmu pengetahuan serta mempelajari peta Jawa Barat. Mungkin karena terbatasnya jumlah buku di sana sebelumnya serta jarak dan medan tempuh ke sekolah sangat sulit. 

Semoga ini menjadi sebuah titik awal terbukanya pikiran warga Kampung Lio tentang dunia yang sesungguhnya.

Warga seakan tidak mengizinkan kami pulang hari Minggu paginya. Ketika berbincang-bincang dengan beberapa warga sehari sebelumnya, ada 2 hal yang sering diulang-ulang dalam pembicaraan. Satu, warga kampung Lio menginginkan listrik PLN masuk, karena sudah lama warga hanya mengandalkan kincir kecil dengan head yang tidak terlalu tinggi untuk listrik rumahnya. Walaupun ada yang menarik kabel PLN dari desa sebelah, itu juga masih kurang stabil dan kurang cukup dayanya untuk kebutuhan listrik sehari-hari. Malam harinya seakan sedikit kehidupan di sana karena gelap. Jam 8 malam seperti sudah saatnya tidur karena sudah sepi. Dua, warga kampung Lio membahas berapa lama kami tinggal di sana, mereka ingin kami tinggal lebih lama di sana. Inilah yang membuat saya berpikir warga sana seakan tidak mengizinkan kami pulang.


Lalu, apa rencana selanjutnya?