Sebuah Penunjuk Jalan Kuingin kembali produktif menulis di sela-sela kewajiban konsumtif akan ilmu-ilmu pengetahuan yang menunjang te...

Solo traveling in Solo


Sebuah Penunjuk Jalan
Kuingin kembali produktif menulis di sela-sela kewajiban konsumtif akan ilmu-ilmu pengetahuan yang menunjang tesis ini. Dan juga mengesampingkan konsumtif akan hal-hal bersifat refreshing seperti main pokemon, nonton film, dan my real definition of konsumtif, njajan. Kegiatan produktif menulis yang semoga konsisten, efektif, dan efisien, serta optimal ini coba kuawali dengan yang ringan-ringan saja, bercerita tentang jalan-jalan di sela-sela sebuah tugas presentasi di Solo (atau terbalik mungkin). Selanjutnya mungkin kembali berkhayal dalam dunia puisi dan merenung saat senja menjelang, atau mungkin pembahasan ilmiah agar terlihat pintar.

Beberapa bulan lalu memang sudah ditugaskan presentasi untuk publikasi paper proyek penelitian dan pengabdian masyarakat oleh seorang dosen. Saya dilibatkan agak dipaksa ikut proyek itu karena ada hubungannya dengan proyek sebelumnya yang kami (tim lain) kerjakan yang bekerja sama dengan bapak dosen ybs. Saya ke Solo dalam rangka presentasi di acara bertajuk ICPERE, sebuah konferensi internasional teknik tenaga listrik dan energi baru terbarukan, 29-31 Oktober kemarin. Saya yang notabene elektro arus lemah ini sedikit-sedikit tercampur dengan arus kuat/ teknik tenaga listrik. 

Sebuah kekecewaan seminggu sebelum pergi ke Solo, ketika menelpon sang ibunda untuk pamit dan sekedar bertukar kabar. Dalam kesempatan komunikasi yang sama itu, ternyata pada tanggal yang sama, ibu juga ada acara ke Jakarta mengajak kakak pertama, kemudian ingin mampir ke Bandung. Konferensi di Solo berlangsung selama 3 hari, tapi saya kebagian presentasi di hari ke-2, Selasa. Rencana awal, setelah selesai presentasi langsung kembali ke Bandung. Tetapi karena ibu cuma sampai hari Rabu sore di Bandung, daripada cuma sebentar bertatap mukanya, saya mengubah rencana sedemikian rupa sehingga saya pulang ke Malang seselesainya acara di Solo. Keinginan piknik, jalan-jalan, dan berwisata bersama ibunda tercinta beserta kakak pertama dan adik ketiga terpaksa ditunda lagi untuk beberapa waktu yang belum bisa ditentukan. Puji syukur kehadirat Yang Maha Kuasa, saya malah diberi kesempatan pulang kampung lebih awal.

Sebenarnya saya sudah pernah ke Solo, seringnya cuma di dalam kereta. Ya, naik kereta Malang-Bandung atau sebaliknya pasti berhenti neng stasiun Balapan kutho Solo sing dadi kenangan. Eh sempat mampir juga sih dulu. Pertama,  tidak usah diceritakan karena berakhir dengan kegelapan. Kedua, saat sok-sokan menjadi pengelana-bertas-ransel Bandung-Semarang-Solo-Malang bersama 2 orang teman lain yang menamai grup Line-nya "Petualangan". Tetapi pada saat itu kami hanya menikmati segelintir sisi-sisi menarik dari kota Solo karena backpackeran kami dihadapkan dengan hujan deras dan singkatnya waktu yang tersisa. Ketiga, saya mewakili sebuah komunitas untuk berbagi cerita ke mahasiswa-mahasiswa elektro Univ. Sebelas Maret. Itu saya juga cuma sebentar di sana.

Mural persatuan

Mural persatuan

Pewayangan

"Tenggelamkan!"

Kesempatan kesekian kalinya saya mengunjungi kota asalnya Pak Joko ini saya manfaatkan untuk berkeliling kota suka-suka. Ya suka-suka, suka-suka saya, karena saya sendirian aja. Tak peduli ada teman yang bareng ikut konferensi, pokoknya saya mau Solo traveling in Solo, kayak anak ilang, yo ben. Tidak sepenuhnya tak peduli sih, saya sempatkan bertemu dengan beberapa orang juga, cuma sebagian besar waktu saya lalui dengan kesendirian dan banyak termenung. Eh tidak banyak, cuma sedikit kok, sisanya benar-benar menikmati kota ini tanpa merenung. Sendirian tidak seburuk itu. Sendirian itu bisa mandiri, bebas, dan tanpa menunggu. Setidaknya saya ingin menikmati waktu sendirian ini sebelum nanti waktu untuk berdua itu datang. hehe.

Wow, kota Pak Widodo ini sangat menarik. Walaupun hanya jalan-jalan di perkotaan, rasanya tidak bosan. Saya memang seringnya benar-benar jalan-jalan pakai kaki menyusuri kota ini. Dari hotel ke Masjid Agung, ke Alun-alun kidul,  benteng Vastenburg, dan lainnya. 

Gerbang Masjid Agung Solo


Hingar Bingar Pasar Malam
Paling seru yaitu saat saya ke pasar malam di alun-alun kidul, atau saudara saya yang di Solo menyebutnya cembengan. Sembari menunggu teman yang katanya akan ikut, saya mengelilingi pasar malam itu dulu. Lama sekali rasanya sudah tidak bermain di pasar malam, terakhir jaman SD mungkin. Dari permainan bayi sampai permainan mirip judi ada di sana. Perosotan balon, kuda komedi putar, dremulem/ bianglala yang jumlahnya lebih dari satu, beberapa kora-kora kecil, adu ketangkasan berhadiah, dan keseruan-keseruan lain. Semua wahana di sana tidak ada yang saya coba karena harus bayar, kecuali satu hal: Tong Setan. Mungkin karena di pasar malam yang pernah saya kunjungi dulu tidak ada hiburan ini. Tanpa berpikir panjang saya rela membayar untuk menonton kemampuan rider motor berputar-putar pada sebuah tong raksasa. Ternyata selain 2 motor yang berputar-putar, ada juga 1 orang yang bisa bersepeda berputar-putar di dalam sana! Atraksi lepas tangan sampai gaya semi-berdiri di atas motor mereka tunjukkan sembari mengambil uang dari penonton yang memberi saweran. Suara bising motor 2 tak tidak menghapus rasa terhibur para penonton dari usia balita sampai usia agak senja. Rasanya kasihan sih melihat balita yang diajak ke sana, mendengarkan suara bisingnya itu ditakutkan merusak pendengarannya yang masih suci dari ghibah-ghibah kehidupan dewasa. Tapi ya sudah, sampai atraksi selesai tidak ada kejadian yang tidak diinginkan. 

Sempat ku merenung menatap indahnya pemandangan cahaya pasar malam. Kemudian ku teringat pada 1 hal, aku belum makan dari siang. Kereta dari Bandung berangkat pagi, sampai Solo sore hari, setelah menyimpan barang di hotel langsung jalan-jalan, haha. Setelah makan di sekitar pasar malam, saya bertemu dengan beberapa teman, yang awalnya ngobrol  basa-basi dan klise berakhir dengan obrolan tentang bagaimana kita menjalani hidup mengejar mimpi kita yang mempunyai kesenjangan dengan mimpi-mimpi orangtua kita. Kesenjangan itu ada karena perbedaan generasi, perbedaan perkembangan zaman, dan perbedaan perjuangan orangtua kita dahulu dan kita sekarang. Mimpi-mimpi kami yang ingin berbagi kehidupan dengan orang-orang yang kurang beruntung, pasti berbeda dengan orangtua kita zaman dahulu ketika mereka berjuang mengarungi kehidupan untuk menghidupi dirinya dan keluarganya dulu sebelum untuk orang lain. Kesenjangan itulah yang membuat banyak orangtua menginginkan anaknya mempunyai pekerjaan yang tetap atau pasti dan terjamin masa depannya termasuk jodoh yang terjamin juga, daripada menjadi seniman, musisi, merintis wirausaha sosial, startup, atau yang lainnya yang belum jelas masa depannya. ðŸ¤®

Beralih ke kotanya Pak Joko lagi, pasar malam tersebut sungguh menjadi hiburan rakyat. Sangat ramai walau di hari Senin saya ke sana. Oiya, kuliner di kota Solo juga cukup menarik bagi saya. Saya sudah mencoba beberapa makanan khas di sana, yang paling saya favoritkan saat itu adalah timlo. Saya pertama kali makan timlo saat itu, dan enak sekali ternyata. Sate buntel juga enak, selat Solo juga enak, semua enak. Indescribable. Saya tidak bisa menjelaskannya, saya tidak cocok menjadi food blogger, tidak jago me-review makanan, atau sejenisnya. Atau mungkin saya saja yang doyan banyak makanan. 


Bersiap Menggila di Tong Setan
Sori blur
Cahaya Hiburan
Salah satu penampakan cembengan
  
Sebuah permainan untuk anak-anak



Salah satu uji ketangkasan yang berhadiah


Khas

Salah satu sudut benteng saat senja menjelang

Saya pulang dari Solo menuju Malang naik bus. Jadinya ya tidak lagi neng stasiun Balapan kutho Solo sing dadi kenangan kowe karo aku. Entah kenapa saat itu ingin naik bus, antara bosan naik kereta atau ingin menikmati jalanan aspal saja daripada rel. 

0 Komentar: