Sebuah universitas setidaknya menggelar acara wisuda 3 kali dalam setahun. Wisudawan-wisudawati yang berasal dari berbagai daerah memba...

Sebuah Keluhan Tentang Urbanisasi


Sebuah universitas setidaknya menggelar acara wisuda 3 kali dalam setahun. Wisudawan-wisudawati yang berasal dari berbagai daerah membawa keluarganya. Acara yang sangat sakral itu digelar sebagai peresmian gelar dan untuk membuat orangtua bangga. Akan tetapi, setelah lulus, kehidupan yang sebenarnya akan dimulai. Sebagian besar mereka yang sudah tidak mahasiswa lagi itu ke sana ke mari mencari pekerjaan untuk menyambung hidupnya. 

Sementara itu lapangan pekerjaan yang menggiurkan dan terkesan wah yang sesuai dengan ilmu yang sudah didapat lebih banyak di Jakarta. Atau paling tidak, di kota yang sama dengan universitas almamater. Padahal, mereka adalah para perantau dari berbagai daerah. Ya, lulusan-lulusan baru akan bekerja di perkotaan. B a y a n g k a n, setahun ada 3 acara wisuda, ratusan wisudawan-wisudawati tiap wisudanya, dan dalam 1 kota ada beberapa universitas. Ribu-ribuan orang mendapat pekerjaan baru di perkotaan. Apalagi yang di Jakarta, kuliah di Bandung kerja di Jakarta, kuliah di Malang kerja di Jakarta, kuliah di Surabaya kerja di Jakarta, kuliah di Semarang kerja di Jakarta, kuliah di Jogja kerja di Jakarta. Contoh lain dari daerah-daerah merantau kuliah di Surabaya kerja di Surabaya, kuliah di Malang kerja di Malang, atau kuliah di Jogja kerja di Jogja. U r b a n i s a s i.

Inilah urbanisasi yang mungkin tidak terpikirkan oleh kita, setelah lulus banyak yang mencari kerja di tempat yang mudah mendapatkan uang banyak. Gelombang urbanisasi yang semacam ini berulang-ulang terjadi setiap tahun. Bayangkan kalau sampai berkeluarga di kota, berketurunan di kota, sampai anak-cucu di kota. K e p a d a t a n  p e n d u d u k  s e m a k i n - s e m a k i n. 

Apa-apa di Jakarta diperbaiki, di-upgrade, diperbarui, dan seterusnya dengan alasan untuk kenyamanan publik, mengatasi macet, banjir, dll. Semakin menggiurkan untuk tinggal di Jakarta karena terus di-nyaman-kan. (kok seakan-akan saya benci sekali dengan Jakarta ya). Sebenarnya bukan hanya Jakarta, tapi kota-kota besar lainnya. Baru pas lebaran semua kembali ke kampung halaman, menemui orangtua, sesepuh, dan sanak saudara. 

Mungkin cara pandang yang salah arah atau standar kebahagiaan yang berbeda. Mungkin mencari yang mudah. Mungkin mencari tempat kerja yang sudah besar untuk mengembangkan diri. Mungkin mencari yang nyaman untuk tempat tinggal dan makan. Mungkin karena potensi pasar yang menggiurkan di sana. Mungkin juga karena sudah mentok hampir putus asa, sudah untung dapat pekerjaan. Mungkin juga memang ingin mencari uang yang banyak. Cara pandang dan standar kebahagiaan yang demikian ini lah yang menurut saya harus diubah. Hal-hal di atas tadi juga yang menurut saya salah satu alasan Indonesia sulit untuk berkembang secara keseluruhan dan sulitnya pemerataan pembangunan. Manusia-manusia hebat sebagian besar ingin di kota.

Ini memang sudah terlanjur, Jakarta sudah jadi pusat perekonomian Indonesia. Segalanya seakan mudah di sana, cari makan, tempat menghibur diri, belanja, wisata, transportasi umum juga sudah bagus dengan adanya KRL, LRT (akan), dll. Bandingkan dengan di Maluku atau Nusa Tenggara (karena Papua sudah sering) yang listriknya tidak semua on 24 jam, harus menambah biaya jika kirim barang, dan sinyal kadang sulit. 

Lalu, bagaimana solusinya? Tidak ada salahnya dengan sedikit pengorbanan memulai kontribusi meratakan pembangunan Indonesia.
Dan ini,  "Membangun Indonesia Melalui Daerah"

sumber gambar: hipwee

0 Komentar: