Hai orang-orang kota, dan beberapa orang desa, siapa yang tidak punya smartphone ? Entah itu iPhone, Samsung, LG, sampai Xiaomi dan Mito...

Are you smarter than a smartphone?



Hai orang-orang kota, dan beberapa orang desa, siapa yang tidak punya smartphone? Entah itu iPhone, Samsung, LG, sampai Xiaomi dan Mito, semua tersebar di berbagai penjuru kota dan tetangga-tetangga kota, dan lain-lainnya. Komunikasi antarmanusia menjadi semakin mudah dengan adanya smartphone. Fungsi-fungsi selain komunikasi juga dimiliki oleh smartphone dalam mendukung aktivitas sehari-hari manusia, seperti penunjuk arah, kamus, transfer data, dokumen, pengolah gambar, media sosial, chatting dan lain-lain. Kemampuan inilah yang membuat sebuah ponsel disebut "smart". Kemajuan teknologi ini memang dimaksudkan untuk mempermudah aktivitas manusia, namun pada kenyataannya terdapat efek samping yang cukup terlihat yaitu pada kehidupan sosial masyarakat.      

Sebuah telepon genggam awalnya hanya telepon untuk komunikasi dengan ngomong saja yang mudah dibawa orang. Telepon genggam pertama diciptakan tahun 1973 oleh tim dari Motorola. Seperti Pokemon yang berevolusi, ponsel atau telepon genggam ini juga mengalami evolusi seiring dengan perkembangan teknologi. Setelah hanya bisa telepon, muncul fitur SMS (1995), lalu pesan suara, lalu berevolusi dapat memutar musik, terintegrasi dengan kamera, dapat terhubung dengan internet, dan lain-lain. Bentuknya pun yang awalnya sebesar sepatu orang dewasa bisa menjadi sebesar sepatu bayi, hingga tersedia ukuran yang bermacam-macam, dan semakin tipis semakin hebat. 

Pendahuluan yang cukup panjang...

Di mana-mana kita sering melihat banyak orang sedang menunduk, entah itu sedang sendirian atau bersama beberapa orang lainnya yang juga menunduk. Mereka sedang melihat gadgetnya. Atau kita termasuk dalam "mereka"? 

Kita pasti sering berkumpul dengan teman-teman untuk makan atau sekedar hang out di sebuah cafe, warung, restoran, dll. Ketika semua sudah duduk di kursi masing-masing, entah kenapa satu persatu mengeluarkan smartphone masing-masing lalu sibuk dengan apa yang dipegangnya saat itu, smartphone. Beberapa menit tidak ada yang berbicara sepatah kata pun. Mungkin sebuah kata baru muncul untuk membahas apa yang ada di smartphone. Pasti kita pernah mengalaminya. Sepertinya memang tidak ada yang salah. Tapi apa yang terjadi itu sangat berbeda jika dibandingkan beberapa tahun ke belakang saat remaja-remaja berkumpul membicarakan sesuatu yang seru.

Grup-grup di media sosial dan aplikasi chatting mulai bertebaran. Kita akan ketinggalan arus informasi saat tidak membuka grup atau bahkan akan tidak tahu apa-apa saat tidak punya akunnya karena tidak punya smartphone. Memang praktis untuk menyebarkan informasi di media sosial. Memang cukup mudah untuk mengajak orang di media sosial. Memang tidak sulit untuk bertemen di media sosial. Namun pada kenyataannya, keakraban di media sosial itu tidak dapat membuat adanya keakraban di dunia yang sebenarnya, walaupun keakraban di media sosial bisa terjadi karena di dunia nyata sebelumnya sudah akrab.

Ini ada video yang lagi hits tentang pemakaian gadget. Pemakaian gadget bisa mempengaruhi kehidupan sosial kita.




Yaaa, kira-kira sama dengan pikiran saya lah.

Akhir-akhir ini dunia seperti kecil rasanya. Kita bisa tahu di belahan dunia sebelah sana ada berita apa. Semua bisa dicari di genggaman melalui smartphone dengan fasilitas internet. Berita-berita secara gratis dapat kita peroleh dari sana.  Kemudahan menyebarkan berita meningkat seiring dengan kemudahan mendapatkan berita. Entah itu berita benar, berita salah, atau gosip atau berita yang belum tentu benar. Popularitas seseorang dengan mudahnya didongkrak dengan fasilitas ini, tapi juga bisa dengan cepat menghilang. Fenomena trending topic, artis Youtube, bajak-membajak media sosial teman (?) dan lain-lain menjadi laris, cepat berubah, dan penuh intrik karena banyak pembaca atau penyimak dengan mudahnya mengaksesnya dari smartphone.

Fenomena lain berkembang di lingkungan anak-anak. Anak-anak yang masih imut-imut dengan tingkah polah yang kadang amit-amit ke sana-sini sulit diam bisa duduk anteng di hadapan gadget. Gadget menjadi senjata para orangtua untuk mengalihkan perhatian anak-anak kemudian orangtua bisa melakukan pekerjaannya tanpa diganggu. Atau jangan-jangan main gadget juga? Perkembangan anak menjadi terhambat, misalnya hal motorik dan penglihatan anak-anak. Interaksi anak-anak dengan lingkungan sekitar juga sangat minim jika cara tersebut dilakukan. Anak-anak hanya akan tumbuh berkembang di dunia maya, tidak tahu banyak kegiatan-kegiatan yang harus dipelajari di dunia nyata yang tidak diajarkan di sekolah.

Interaksi sosial menjadi maya dengan menggunakan smartphone. Banyak hal yang bisa dilakukan tanpa smartphone. Fasilitas memang bisa membantu kita di kehidupan sehari-hari. Tapi kalu berlebihan menggunakannya dan tidak cerdas menggunakan kecerdasan alat itu, kita bisa tertindas dan kalah cerdas dari perkembangan teknologi.


Entah cuma saya yang merasakan atau kamu juga, atau dia juga, atau kita semua. 

Mledak-ledak... Palapa HME ITB melanjutkan misi besarnya di Kampung Lio.. Ide Rumah Baca Kampung Lio berawal dari social mapping De...

Rumah (Rak) Baca Kampung Lio



Mledak-ledak...

Palapa HME ITB melanjutkan misi besarnya di Kampung Lio..

Ide Rumah Baca Kampung Lio berawal dari social mapping Desember 2013 dan April 2014 yang menunjukkan bahwa masyarakat Kampung Lio, Kec. Kabandungan, Kab. Sukabumi cukup tertinggal dalam hal pendidikan. Hanya 2 orang yang bisa melanjutkan sekolah ke jenjang SMP, sisanya merantau atau menikah setelah SD. Jarak SD maupun PAUD dari Kampung Lio juga cukup jauh. Untuk melanjutkan community development yang digalakkan generasi baru Palapa, dan masih kurangnya data-data social mapping, tim angkatan 2011 mengajukan sebuah proposal kegiatan ke Lembaga Kemahasiswaan ITB untuk membangun Rumah Baca di Kapmung Lio. Rumah baca ini selain untuk sedikit mendukung pendidikan di sana, khususnya anak-anak, juga bertujuan untuk mengetahui hubungan baik termasuk kerjasama antarwarga sana dan antara warga sana dan tim Palapa. 

Kegiatan ini baru bisa dilakukan kemarin, 3-5 April 2015 karena berbagai hal, dengan persiapan beberapa minggu sebelumnya. Survey sempat dilakukan dengan maksud meminta izin lagi pada Februari 2015 dan mendapat cerita siluman serigala. Perjalanan dilakukan di hari Jumat sehingga harus berhenti dulu Jumatan di masjid di daerah Padalarang. Perjalanan yang bertepatan dengan long weekend membuat waktu tempuh yang lebih lama, yaitu sekitar 7 jam karena padatnya kendaraan saat melewati Padalarang maupun Kota Sukabumi. 

Mledak-ledak...
Rencana awal, Jumat sore tim Palapa sejumlah 13 orang sudah sampai di Kec. Kabandungan. Karena macet dan sempat kesasar, tim Palapa baru sampai ParungKuda, jalan berkelok-kelok sebelum Kabandungan, ketika hari mulai tak punya mata, gelap. Kesasarnya karena implementasi teknologi yang kurang tepat, atau mungkin gangguan satelit, atau mungkin efek badai matahari, entahlah, yaitu mempercayai Google Maps pas salah belok di daerah Parung Kuda. Pas salah belok, Google Maps menunjukkan ada jalan lain menuju Kabandungan. Tapi ternyata, jalan tersebut adalah jalan kecil, lebarnya hanya cukup 1 mobil, dan melewati perkebunan kata para penduduk sekitar. Mobil nomor 2, mobil manual, sempat mengalami mledak-ledak yang sesungguhnya saat melewati tanjakan. Koplingnya berasap, dapat dikatakan ledakan kecil, sangat kecil. Aku tak tau apa dan kenapa itu, karena aku tak tau permobilan. 

Mledak-ledak..
Ledakan lain dalam kiasan terjadi ketika sampai di Kabandungan, di rumah Rhandy, Palapa 2011. Saat menurunkan tas-tas tim Palapa, ternyata ada 1 tas yang tidak ada. Setelah diingat-ingat, mungkin tas yang tidak ada itu ketinggalan di parkiran mobil ITB, tidak sempat dimasukkan ke mobil. Panik. Bingung. Gelisah. Syok. Mledak-ledak. Apalagi di dalam tas tersebut ada barang-barang penting, yaitu medik, perkakas pinjam punya Workshop HME, paku plus baut rak buku, dan pakaian pemilik tas tersebut. Singkat cerita, walaupun pikiran masih tidak tenang, kami bisa beristirahat dulu 1 malam di Kabandungan. Padahal rencananya sore harinya sudah ke Kampung Lio. Fyi, kampung Lio masih sekitar 3 km lagi dari daerah Kabandungan tapi tidak bisa dijangkau mobil. Melewati perkebunan dan sangat berbahaya kalau jalan malam hari. 


Sabtu pagi harinya, walaupun pikiran masih tidak tenang, kegiatan ke Kampung Lio masih dilanjutkeun (atau dipaksakan?). Baut dan paku untuk rak buku akhirnya bisa kami dapatkan, beli di toko material di Kabandungan. Untung-untungan bautnya pas di lubang rak. Perjalanan 2 km naik ojek dulu lalu jalan sekitar 1 km naik-turun-belok-belok sungguh mledak-ledak. Biasanya ke sana ya seperti itu. Tapi kali ini tim Palapa membawa papan-papan rak dan buku-buku dalam tas carrier yang akan diberikan, mungkin seberat salah satu ikon "besar" teman seangkatan kami. wkwkwk.   



Kegiatan kami kemarin bertepatan dengan renovasi Mushola kampung Lio yang didanai salah satu yayasan Arab di Sukabumi. Warga setempat kebanyakan ikut membantu renovasi yang baru berjalan 1 minggu itu. Penyusunan rak baca tetap dilakukan di salah satu rumah warga walaupun kami sendiri yang menyusunnya. Agak panjang ceritanya dari rencana Rumah Baca hanya menjadi Rak Baca. Awalnya agak susah mengajak anak-anak di sana untuk menikmati buku-buku yang ada. Akhirnya dengan beberapa cara, anak-anak ternyata tertarik juga. Rumah warga yang dijadikan tempat rak baca penuh dengan anak-anak. Sebenarnya dari tadi ada niatan ikut membantu renovasi Mushola. Maksud hati memeluk bulan apa daya tangan tak sampai. Di sana sepertinya saya hanya akan mengganggu pekerjaan dan mungkin menghambat karena sudah banyak warga yang bekerja. Akhirnya kebanyakan saya hanya ngobrol-ngobrol dengan warga dengan bahasa Sunda sebisanya. 








Mledak-ledak..
Betah juga ternyata anak-anak membaca, mewarnai, dan bermain di rak baca Palapa. Sejak Dhuhur sampai sebelum Maghrib buku-buku bergantian dibaca oleh anak-anak. Mledak-ledak. Kuis matematika dadakan juga sempat diadakan. Antusiasme anak-anak untuk belajar sangat terlihat jelas. Bapak pemilik rumah juga terlihat membaca beberapa buku ilmu pengetahuan serta mempelajari peta Jawa Barat. Mungkin karena terbatasnya jumlah buku di sana sebelumnya serta jarak dan medan tempuh ke sekolah sangat sulit. 

Semoga ini menjadi sebuah titik awal terbukanya pikiran warga Kampung Lio tentang dunia yang sesungguhnya.

Warga seakan tidak mengizinkan kami pulang hari Minggu paginya. Ketika berbincang-bincang dengan beberapa warga sehari sebelumnya, ada 2 hal yang sering diulang-ulang dalam pembicaraan. Satu, warga kampung Lio menginginkan listrik PLN masuk, karena sudah lama warga hanya mengandalkan kincir kecil dengan head yang tidak terlalu tinggi untuk listrik rumahnya. Walaupun ada yang menarik kabel PLN dari desa sebelah, itu juga masih kurang stabil dan kurang cukup dayanya untuk kebutuhan listrik sehari-hari. Malam harinya seakan sedikit kehidupan di sana karena gelap. Jam 8 malam seperti sudah saatnya tidur karena sudah sepi. Dua, warga kampung Lio membahas berapa lama kami tinggal di sana, mereka ingin kami tinggal lebih lama di sana. Inilah yang membuat saya berpikir warga sana seakan tidak mengizinkan kami pulang.


Lalu, apa rencana selanjutnya?