If you've come this far, what choice do you have but to keep going?

Motivational Words from Pokemon Game & Anime
















If you've come this far, what choice do you have but to keep going?

(sambungan dari Memberdayakan Masyarakat ) Jumat Sore, acara Bilik Sekolah pengmas dilanjutkan menuju contoh desa hasil aksi dari...

Desa Ponggang, Desa Adat Hasil Community Development yang Berhasil

(sambungan dari Memberdayakan Masyarakat)



Jumat Sore, acara Bilik Sekolah pengmas dilanjutkan menuju contoh desa hasil aksi dari teori-teori community development, yaitu desa Ponggang, Kab. Subang. Desa ini sudah pernah dikunjungi oleh Universitas lain maupun negara lain seperti Jepang, Australia, Belanda. Masyarakat desa ini masih memegang kuat adat Sunda yang telah turun temurun berlaku di sana. Kami berencana menginap sampai hari Minggu di sana didampingi dua orang dari IBEKA. Menurut adat mereka, tamu yang menginap lebih dari 2 malam harus ikut ritual khusus sebagai bentuk penyambutan. Ritualnya adalah mandi di pancuran tujuh jam 12 malam. Pancuran tujuh merupakan suatu sumber air di desa Ponggang yang dibuat pancuran banyaknya 7 buah. Ritual itu baru akan dilaksanakan saat malam kedua di sana, Sabtu malam. Tapi dengan pertimbangan dari beberapa sesepuh adat, kami diperbolehkan melakukan prosesi itu Sabtu sore.

Desa Ponggang berada sekitar 50 km dari kota Bandung. Medan perjalanan menuju desa itu cukup sulit untuk pengemudi amatir seperti saya. Belok-belok, batu-batu, aspal rusak, naik turun, dan lain-lain. Tapi hari itu sudah disediakan angkutan khusus yang mengantarkan rombongan peserta dan panitia menuju desa Ponggang sehingga cukup tidur di dalam angkot menunggu sampai tujuan. Angkot berhenti sesampainya di Jalan Cilutung karena jalanan berikutnya tidak muat dilalui kendaraan yang agak besar. Kami harus berjalan sekitar 1 koma sekian km untuk sampai di Ponggang. Mungkin terlihat melelahkan mengingat peserta yang ikut sebagian besar adalah perempuan. Fyi, semua perempuannya berjilbab lho. Subhanallah. Rasa lelah berjalan seakan sirna karena ditemani oleh pemandangan persawahan dan pegunungan. 

Sesampainya di desa Ponggang, kami penduduk yang menyalami kami satu persatu membentuk barisan yang cukup panjang. Suasana desa yang rukun terlihat jelas di sana. Kami juga disambut oleh lagu qasidah dan shalawat yang dinyanyikan oleh anak-anak desa itu diiringi tabuhan rebana. Malam harinya kami, sekitar 40 orang, terbagi menjadi beberapa kelompok untuk menginap di beberapa rumah penduduk. Kemudian kami berkumpul kembali, ngobrol-ngobrol sembari mengistirahatkan jiwa dan raga di basecamp tempat kami berkumpul saat pertama kali sampai di sana. 

Sabtu pagi, kami ikut mengantar anak-anak SD ke sekolahnya. Sekolah mereka tidak jauh, hanya sekitar 1,5 km dari desa Ponggang. Tapi jarak itu tidak dekat karena sebagian besar dari mereka jalan kaki menuju SDnya. Kami ikut jalan kaki juga. Sekitar jam 6 kami sudah berangkat. Karena SD itu masuknya jam 7.30, di sana kami bermain dulu. Ada ucing-ucingan, main keong, lompat tali, dan lain-lain.  Setelah ikut ke SD kami seharusnya mencari kayu bakar untuk memasak sendiri karena sebagian penduduk sudah berangkat ke sawah lebih pagi. Karena rundown sudah ngaret dan masyarakat di sana terlalu baik, kami pun diberi sarapan oleh mereka, tidak memasak sendiri. Makan-makan selanjutnya juga begitu. Haha. Setelah itu kami ikut memanen padi, diskusi peserta-panitia, dan mengunjungi Chipmanihot, yaitu produk home industry keripik singkong asli desa Ponggang. Keripik ini pernah dipesan sampai Australia. Karena kondisi cuaca yang kurang mendukung, dengan pertimbangan dari beberapa pihak, prosesi mandi di pancuran tujuh ditunda menjadi Minggu pagi setelah Subuh. 

Malam harinya kami melakukan doa bersama, diawali dengan ritual dari seorang sesepuh adat di sana. Memang masih kental sekali adat di desa itu. Katanya juga ada orang yang jago "menerawang", jago ilmu tenaga dalam, dan lain-lain. Kegiatan malam hari dilanjutkan dengan dangdutan organ tunggal asli dari desa Ponggang. Beberapa orang dari kami yang kurang menikmati musik itu ada yang tidur di tengah keramaian, ada yang ngobrol dengan penduduk, dan ada yang ngobrol dengan pendamping dari IBEKA "membaca" tandatangan. 

Minggu pagi, seperti yang sudah diagendakan, kami melakukan prosesi adat Ponggang, yaitu mandi di pancuran tujuh. Mungkin karena sudah ada akulturasi Islam, ritual yang dilakukan tidak terlalu aneh, hanya membasahi badan saja, wudhu juga boleh. Di pancuran terakhir satu persatu diguyur air dengan kembang-kembang, ya begitulah. Kegiatan hari Minggu selanjutnya adalah bermain-main dengan anak-anak di sana. Kami dibagi meenjadi 5 pos untuk bermain. Tema utama saat itu adalah cita-cita. Ada satu anak yang bercita-cita menjadi duta besar. Wow. Di hari terakhir itu kami juga mendapatkan materi tambahan dari kitabisa.com tentang Branding & Crowdfunding. Untuk branding, terdapat 3 tips agar efektif, yaitu be different, be storyteller, dan be relevant. Siangnya, kami semua mengakhiri rangkaian acara Bilik sekolah pengmas dengan berwisata ke curug/ air terjun Ponggang. 

Curug Ponggang

Perwakilan Palapa HME ITB


Terima kasih warga desa Ponggang

Sepeda Gunung, Bisakah mencapai gunung jika tidak dinaiki? Sebagai anak kuliahan yang punya kesempatan lebih mencari ilmu di perguruan ...

Memberdayakan Masyarakat

Sepeda Gunung,
Bisakah mencapai gunung jika tidak dinaiki?

Sebagai anak kuliahan yang punya kesempatan lebih mencari ilmu di perguruan tinggi, sudah seharusnya kita berbagi sesuatu ke orang lain. Pengabdian masyarakat, yang banyak digembor-gemborkan di banyak perguruan tinggi adalah salah satu bentuk berbagi itu. Pengmas dapat dilakukan dengan Community Service atau Community development. Community service dilakukan dengan memberi bantuan ke sekumpulan orang/ komunitas/ desa/ kampung/ lainnya tapi tidak ada kontrol atau follow-up ke obyek kegiatan setelah dilaksanakannya kegiatan. Sedangkan community development adalah memberikan bantuan dengan cara menjadi katalis atau fasilitator berkembangnya sekumpulan orang/ komunitas/ desa/ kampung/ lainnya. Sekumpulan orang tersebut bisa menjadi mandiri atau bisa mengatasi masalah mereka sendiri setelah kita menjadi fasilitator.

Dalam melakukan community development, setidaknya ada alat untuk kita dalam membantu mengembangkan komunitas. Contohnya kita analogikan dengan sepeda gunung. Jika kita memberikan sepeda gunung ke seseorang tapi orang itu tidak bisa menggunakannya, atau bahkan ditelantarkan, sepeda gunung itu dan orang itu tidak akan bisa mencapai puncak gunung. Oleh karena itu, selain kita berikan alat berupa sepeda gunung, kita juga harus mengajarkan bagaimana mengendarai sepeda gunung kepada orang tersebut agar bisa mencapai puncak gunung. Dengan tidak menyalahkan community service, inilah sebab kenapa selain kita memberikan bantuan berupa alat atau barang atau lainnya, kita juga harus memberdayakan masyarakat bagaimana mereka menggunakan alat itu untuk berkembang sesuai kebutuhan mereka. 

Bilik Sekolah Pengmas

Jumat, 27 Februari 2015
Bilik sekolah pengmas adalah kegiatan yang diadakan oleh KM-ITB untuk "mendidik" himpunan dan badan lain di bawah KM untuk berpengmas dengan community development yang sebenarnya. Bilik sekolah pengmas diawali dengan materi dari IBEKA, salah satu LSM yang bergerak di bidang community development berbasis energi terbarukan. Pembicara materi tentang community development adalah langsung dari founder IBEKA, yaitu Bapak Iskandar B. Kuntoadji, kegiatan dilaksanakan di markas IBEKA di Panaruban, Kab. Subang. Ternyata juga ada Ibu Tri Mumpuni saat itu walaupun cuma sebentar. Beliau lah menganalogikan community development dengan sepeda gunung tadi.  

Kita adalah mahasiswa teknik yang punya keinginan langsung membantu masyarakat dengan keilmuan kita masing-masing. Tapi dalam membantu masyarakat, dalam hal ini community development, porsi bagian tekniknya hanyalah 30% sedangkan sisanya, 70%, adalah bagian sosial dan manajerial, menurut Pak Iskandar. Seperti sepeda gunung tadi, jika kita memberikan hanya hal teknisnya saja, bantuan kita ke masyarakat tidak akan sustain. Perlu perihal sosial dan manajerial untuk mengembangkan masyarakat dalam memanfaatkan, mengelola, merawat barang atau alat yang kita berikan. Dalam melaksanakan community development, terdapat 4 fase utama yang masing-masing mempunyai rentang waktu yang berbeda. Mulai dari Reconaissance (Pengintaian), Concolidation, Self Organizing, sampai Self Reliant. Semua fase ini membutuhkan waktu total minimal 1,5 tahun untuk mendapatkan hasil yang maksimum, itupun kalau berhasil cepat.

Kaya bukan karena harta tapi kaya adalah karena karya yang bermanfaat untuk orang lain

Sebagian besar memang bagian sosial dalam community development ini. Untuk memulai community development, perlu dilakukan pendekatan kepada masyarakat. Bahkan lebih dari itu. Kita harus masuk ke dalam masyarakat itu, menjadi bagian dari masyarakat untuk dapat mengetahui apa yang sebenarnya dibutuhkan mereka. Cara yang paling efektif agar lebih mudah "menjadi" masyarakat adalah kita dapat mengikuti kearifan lokal di daerah tersebut. Apapun yang biasa mereka lakukan kita ikut melakukannya, tapi masih dalam batas-batas agama masing-masing. Masyarakat akan lebih menghargai kita dan akan menganggap kita bagian dari mereka. Kasarnya, hal itu dibutuhkan agar masyarakat tersebut mau mendengar perintah-perintah kita.

Definisi development menurut Pak Iskandar adalah progress dari sesuatu yang sederhana menjadi kompleks. Development dilakukan dengan memanfaatkan local resource, untuk menghilangkan kemiskinan, dan untuk mengeluarkan pengaruh eksternal agar internal masyarakat sendiri yang memimpin. Community development yang digagas oleh IBEKA adalah membangun masyarakat dari lapisan bawah (bottom-up). Untuk membantu orang lain, tidak usah menunggu sampai diri kita mampu dan tidak terikat pada disiplin ilmu. Dengan kemampuan kita seadanya, kita pasti bisa membantu orang lain sekecil apapun itu. Prinsip-prinsip community development dari IBEKA adalah keinginan membangun harus datang dari masyarakat sendiri, participatory, bottom up, dan enhance the range of human choice tanpa diskriminasi. Aduh, apa itu. Haha. Sementara untuk kita, cukup tidak sombong dan "shut up", mendengar aspirasi mereka.

Warna merah harus dilihat sendiri
Rasa asin harus dirasakan sendiri
You'll never know how to use it until you fight for it

Itulah tadi sedikit teori-teori dari Pak Is. Ya, "sedikit". Masih banyak yang belum sempat terekam dalam tulisan seadanya ini. Akan tetapi tidak cukup dengan teori kita hidup di dunia ini. Teori tanpa aksi nyata bukanlah apa-apa karena tidak ada hasil yang benar-benar terlihat. Tapi aksi yang tidak ada tujuannya akan menjadi sia-sia. You'll never know how to use it untul you fight for it.

Jumat siang, kami diajak mengunjungi tempat pengolahan biogas. Proses dari kotoran yang baru saja dikeluarkan oleh sapi sampai menyalakan kompor didemonstrasikan di sana. Kunjungan selanjutnya adalah ke PLTMH Cinta Mekar. Dua Tempat ini adalah produk IBEKA yang cukup berhasil membantu masyarakat.




Jumat sore, kami menuju tujuan utama yaitu desa Ponggang, desa yang masih kental dengan adat istiadatnya. Ada beberapa ritual khusus yang...................

..........(to be continued)